(Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Rabu/24 November 2021)
Gonjang ganjing keluarnya permendikbudristek nomor 30 tahun 2021, mengingatkan kita kepada RUU Pencegahan Kekerasan Seksual. RUU ini begitu banyak penolakan dari masyarakat, pun permendikbuid ristek ini pun idem dito, karena kedua peraturan ini disinyalir melegalkan seks bebas alias perzinahan yang dalam agama manapun yang dianut di Indonesia merupakan perbuatan terlarang dan bertentangan dengan norma dasar yang dianut Sebagian besar masyarakat.
Sungguh tidak mengerti pendapat yang mengatakan bahwa wanita dalam kehidupan sosial selalu dijadikan objek dalam segala bidang dan kurang dihormati. Konstitusi kita dengan tegas menghapus diskriminasi tersebut dengan mengatakan bahwa negara menjamin kesejahteraan warga negaranya, selain itu berbagai perundang-undangan kita telah memproteksi wanita dari segala bentuk diskriminasi dan perlakuan yang melecehkan.
Banyak Tulisan yang sudah dimuat dalam harian ini yang dengan sangat bernas mengulasnya secara komprehensif, akan tetapi lupa menempatkan kedudukan wanita dalam struktur sosial masyarakat Indonesia yang begitu dimuliakan. Masih banyak orang mempunyai anggapan bahwa wanita masih berada dalam lingkaran yang lemah baik dalam struktur sosial, hukum bahkan agama.
Apabila kita melihat isi dari RUU Pencegahan Kekerasan Seksual (yang nasibnya ntah bagaimana) dan kehawatiran masyarakat (Islam) terhadap dampak viktimologis manakala nantinya jadi undang-undang, maka sejatinya RUU Pencegahan kekerasan seksual ini harus lah memperhatikan seluruh pendapat, nilai sosial masyarakat bahkan agama, sebab tanpa memperhatikan aspek-aspek tersebut RUU Pencegahan kekerasan seksual nantinya dapat menjadi faktor kriminogen dalam arti akan memunculkan kejahatan baru sebagai ekses dari berlakunya undang-undang tersebut. Penolakan ini semakin menjadi-jadi dengan munculnya Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruana tinggi.
Secara akademik sebuah undang-undang yang baik paling tidak harus mempunyai atau memperhatikan aspek filosofis, yuridis dan sosiologis. Selain itu sebagai sebuah produk hukum maka dia harus mempunyai kemanfaatan, kepastian dan keadilan. Sebuah undang-undang yang isinya menimbulkan kegaduhan, rusaknya tatanan sosial, bahkan rusaknya moral tentu tidak akan mencapai tujuan tadi.
Sebetulnya secara umum, apabila sebuah undang-undang dibuat, tentu tujuannya adalah untuk kesejahteraan rakyat termasuk di dalamnya individu-individu karena hukum biasanya dibuat secara umum (hukmi lil jamiah). Kalau kita runut peraturan yang melindungi perempuan tentunya bisa kita lihat dari KUHP, undang-undang lainnya dan berbagai konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengatur tentang hal tersebut
Penolakan terhadap RUU Pencegahan Kekerasan Seksual bukanlah melulu karena persoalan agama terutama agama Islam yang melarang orang mendekati zina apalagi berzinanya atau dalam bahasa eufimisme nya adalah seks pranikah akan tetapi didasarkan pada alasan atau reasoning de’tre dari RUU Pencegahan Kekerasan Seksual tersebut, terutama apakah RUU Pencegahan Kekerasan Seksual ini malah menimbulkan over kriminalisasi, atau bahkan akan dituduh sebagai sikap berlebihan maaf dari perempuan terhadap kekerasan seksual yang sebenarnya telah cukup diatur dalam KUHP atau RUU KUHP yang secara konprehensif telah mengatur bentuk dan tipologi dari kejahatan kekerasan terhadap perempuan.
Dalam RUU Pencegahan Kekerasan Seksual maupun Permendikbudristek terdapat frasa …adanya persetujuan atau keterpaksaan dalam hubungan seksual yang halal maupun haram…. rumusan seperti ini sangat ambivalen, disatu sisi bahwa zina adalah hubungan seksual pra nikah akan tetapi disisi lain dikatakan bahwa zina juga termasuk didalamnya ada unsur keterpaksaan. Hukum pidana mensyaratkan bahwa dalam delik zina haruslah merupakan delictum suigeneris, yang mensyaratkan adanya pelaku paling sedikit dua orang dan dilalukan dengan suka sama suka. Dalam delik zina tidak dikenal adanya unsur keterpaksaan, oleh karena itu baik hukum pidana positif maupun hukum pidana Islam dalam konteks unsur perbuatan memiliki pendapat yang sama yaitu didasarkan atas suka sama suka.
Apabila RUU Pencegahan Kekerasan Seksual ini nantinya dimaksudkan untuk melindungi perempuan, sebenarnya dapat dilakukan dengan menggunakan dua opsi, pertama melalui opsi hukum pidana yang telah diatur dalam berbagai rumusan pasal-pasal dalam KUHP dan undang-undang lainnya. Dengan adanya pengaturan ini sebenarnya maka perempuan dapat terlindungi in casu dari kekerasan seksual, yang kedua melalui opsi non penal yaitu melalui upaya pencegahan, sosialisasi, penerangan dan penyuluhan serta pemberdayaan perempuan
Adapun undang-undang yang telah ada belum sepenuhnya menjamin hak korban, maka sebenarnya dalam penegakan hukum in konkrito dapat dilakukan dengan cara penemuan hukum, penafisran dan argumentum a contrario yang dilakukan oleh hakim. Kita harus bersepakat bahwa demi melindungi korban yang notabene perempuan, maka pendayagunaan hukum pidana oleh hakim harus lah diutamakan (primum remdium) disertai pemenuhan hak-hak lainnya seperti restitusi, kompensasi serta rehabilitasi.
Dalam konsideran dari RUU Pencegahan Kekerasan Seksual dijelaskan bahwa undang-undang ini dimaksudkan untuk menghindarkan dan melindungi korban kekerasan seksual, begitupun dalam Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 niatnya sungguh mulia dalam melindungi generasi muda terutama Wanita, oleh karena itu seyogyanya pemerintah mengingatkan kembali sikap masyarakat Indonesia yang terkenal adiluhung, terutama dalam menghormati perempuan. Dalam surat Luqman ayat 14 dikatakan agar manusia berbuat baik kepada orang tuanya terutama kepada ibu nya yang notabene adalah perempuan. Kemudian surat albaqoroh ayat 223 dengan sangat indah melukiskan bagaimana laki-laki menghormati perempuan istrinya… istri-istrimu adalah ladang bagimu… serta hadits nabi yang mengatakan bahwa wanita sholehah adalah sebaik-baik perhiasan dunia. Oleh karena itu yang harus ditanamkan adalah betapa wanita itu mahluk yang mulia, yang kemakmuran dan kebaikan suatu negara berada pada tangan wanita.
[1] Rektor Unisba