
KOMHUMAS-Baru-baru ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengeluarkan aturan terkait pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus dengan menerbitkan Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, yang menuai pro dan kontra di khalayak luas.
Merespon hal ini, Bagian Kemahasiswaan dan Alumni Unisba menyelenggarakan webinar “Menciptakan Lingkungan Islami Sebagai Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus” yang diselenggarakan melalui Zoom Meeting, Rabu (17/11).
Rektor Unisba, Prof. Dr. H. Edi Setiadi, S.H., M.H., mengatakan, webinar ini urgent terselenggarakan sebagai upaya sterilisasi kampus terhadap perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Rektor menilai, Permendikbudristek ini dari segi judul tidak ada masalah, namun secara substansi banyak pasal/ketentuan yang peru dikritisi.
“Banyak bertentangan dan bertabrakan dengan norma-norma perundang-undangan dari sudut pembentukannya saja. Saya tegaskan perlu perbaikan normanya,” ungkapnya.
Menurutnya secara global, Permendikbudristek ini mengambil alih tugas – tugas aparat penyidik.
“Salah satunya yang berbunyi mengumpulkan alat bukti, padahal pengumpulan alat bukti ini tugas penyidik. Ini pro justitia artinya demi hukum. Tidak diperbolehkan pihak lain untuk melakukan pengumpulan bukti demi hukum selain dari penegak hukum dan hal ini perlu dikritisi,” ungkapnya.
Selain itu lanjutnya, Permendikbudristek ini juga mengambil alih hukum acara. Menurutnya, yang diperbolehkan hanya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saja.
Rektor berharap, webinar ini bisa memberikan ulasan yang jernih dan bernas sehingga Unisba dapat memberikan sumbangsih kongkrit terhadap perbaikan-perbaikan.
Lebih jauh Rektor mengatakan, Unisba sudah sejak lama mengeluarkan peraturan mengenai perilaku kehidupan yang berlaku di lingkungan kampus, salah satunya perbuatan asusila baik narkoba, miras dan pergaulan bebas tanpa ikatan perkawinan.
“Bagi Unisba ini bukan hal aneh. Kalaupun kita membahas, ini sebagai wujud dari sumbangsih Unisba terhadap persoalan yang akan dihadapi oleh bangsa dengan keluarnya permendikbud ini,” ujarnya.
Sementara itu, Dr. Neng Djuabidah, SH., MH., (Pakar Hukum Islam Universitas Indonesia) menuturkan, Permendikbudristek tersebut bertujuan untuk melindungi masyarakat kampus, terutama mahasiswa karena itu kekerasan seksual yang wajib diberantas. Meski menurutnya realita perzinaan masih banyak dilakukan oleh para remaja.
Mengenai penerapan Mafhum Mukhalafah terhadap 11 kekerasan seksual yang tertera dalam Permendikbudristek ia mengatakan, tidak bertentangan dengan asa kemaslahatan, maqashid Syari’ah. Hanya saja katanya, perumpamaan terhadap penerapan interpretasi A cantrario/argumentum A Contrario atau Mafhum Mukhalafah terhadap Q.S. An-Nur ayat 33, tidak tepat karena pelacuran perdagangan pelacuran mucikasri perzinaan dalam hukum islam dilarang.
Dalam menafsirakn Permendikbudristek ini menurutnya, harus merujuk ke Q.S. Annisa ayat 59 dalam melihat pertentangan atau tidaknya.
Dia juga menuturkan, negara memiliki kewajiban dalam melindungi setiap warga negara dari tindak pidana seksual.
Adapun, Dr. Wido Supraha, M.Si., (Pengurus MUI Pusat) menolak dengan tegas Permendikbudristek ini.
Namun ia memberikan solusi untuk perbaikan Permendikbudristek ini yakni dengan tidak lagi meng-copy paste dari seluruh redaksi RUU P-KS yang telah di-drop dan ditolak di tahun 2019; konsisten pada pandangan hidup Pancasila, Agama dan Budaya; menghilangkan rujukan ‘relasi kuasa’ dan ‘relasi gender’ yang berbasis Feminist Legal Theory; menggunakan frasa kejahatan seksual agar komprehensif; menghilangkan seluruh frasa ‘tanpa persetujuan’ atau sejenisnya; serta menghilangkan seluruh prasyarat seseorang yang disebut melakukan kekerasan seksual.
Untuk itu menurutnya, diperlukan ketahanan keluarga dimana peran ayah sangatlah penting sebagai pemimpin keluarga dan harus menjadi sosok berdaya yang aktif, kreatif dalam berkomunikasi bervisi peradaban kepada anak keturunan.
Kemudian lanjutnya, seorang anak yang terlahir dalam jenis kelamin laki-laki agar dididik menjadi laki-laki sesuai fitrah penciptaan, serta seorang anak yang tumbuh dengan orientasi seksual berbeda dengan jenis kelamin dengan ragam konstruksi sosial, agar dilindungi dan dirangkul dalam perspektif konseling dan pengobatan sehingga dapat kembali pada fitrah seksualitasnya.
Disamping itu tambahnya, dunia pendidikan formal seperti kampus harus bekerjasama dengan pendidikan keluarga. “Ini untuk membangun keturunan yang siap menjadi suami yang baik dan Ayah yang berdaya,” ucapnya.
Terakhir ia menerangkan, agama adalah pandangan hidup keluarga dalam berpikir, memutuskan dan bergerak. “Termasuk sebagai contoh dalam menilai sebuah ujaran apakah dianggap ‘kebencian’ atau ‘bukan kebencian’, bukanlah berbasis HAM versi Barat tapi berbasis HAM dalam Pandangan hidup bangsa,” ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan Hj. Siti Mutmainah, S.AP., (Anggota DPRD Jawa Barat). Parlemennya menolak dengan tegas. Mereka meminta agar pemerintah mencabut Permendikbudristek tersebut. “Di dalamnya terdapat konsensus yang belum dipakai menjadi wacana, malah sudah dipergunakan. Permendikbudristek ini juga menggunakan teori feminis yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila,” ujarnya.
Menurutnya, keberadaan Permendikbudristek ini perlu dikawal bersama-sama karena keluar sebelum racangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) disahkan dan selesai.***