HUMAS-Secara prinsip dan asas tidak ada perbedaan yag mendasar antara hukum Islam dengan hukum negara. Perbedaan yang ada adalah siapa yang berhak menghukum dan tata cara penghukuman. Jika undang-undang nasional meliputi lima pilar tujuan utama hukum Islam, maka bisa dikatakan hukum negara tersebut bersifat Islami.
Demikian disampaikan Rektor Unisba, Prof.Dr. H.Edi Setiadi, S.H.,M.H. dalam pemaparan tausiah bertema, “Kontribusi Hukum Islam Terhadap Pembinaan Hukum Nasional” pada pengajian di Majelis Taklim Al-Asy’ari Unisba, belum lama ini. Pengajian yang dilaksanakan hari Rabu sebulan sekali ini diikuti civitas akademika Unisba dan masyarakat sekitar kampus di Jl. Tamansari.
Lima pilar tujuan utama hukum Islam yang dimaksud Rektor adalah, (1) Hifdu ad diin (menjaga agama); (2) Hifdu Al Mal (menjaga harta); (3) Hifdu An Nafs (menjaga jiwa); (4) Hifdu An Nasb (menjaga keturunan); (5) Hifdu al aqli (menjaga akal). Beberapa persamaan dalam hukum Islam dan hukum positif juga terdapat bidang hukum lainnya. Misalnya asas persamaan dalam hukum, asas praduga tak bersalah.
Hukum Islam, lanjut Rektor, ada yang bersifat qoth’i dan bersifat ta’zir. Qoth’i artimya ketentuan itu sudah terdapat dalam nash Al qur’an seperti hukum kisos dan hukum potong tangan, sedangkan yang bersifat ta’zir pembentukan hukum nya diserahkan kepada keputusan penguasa. Nilai-nilai Islam semuanya dapat memasuki kedua bidang tadi, hal ini tergantung kepada politik hukum suatu negara. “Di sinilah peran kita umat Islam untuk mewarnai hukum negara dengan hukum Islam baik melalui lembaga formal seperti DPR dan Pengadilan maupun melalui majelis-mejelis taklim seperti ini (ormas Islam),” tambah Rektor.
Isu yang selalu menerpa hukum Islam adalah perlindungan terhadap hak asasi, hukum Islam selalu dikatakan kejam dan diskriminatif. Oleh karena itu, lanjut Rektor, perlu dikemukakan jaminan hak asasi dalam hukum islam; Pertama, Hukum Islam menjamin orang untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing, agama Islam melindungi pemeluk agama non Islam. Agama Islam tidak memaksakan keyakinannya kepada umat lain agama. Kemudian agama Islam memberikan kebebasan ruang untuk berfikir dan berbicara. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an (Al-Baqarah: 256) yang berbunyi, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Alquran mengingatkan orang orang yang tidak menggunakan akalnya, menjadikan akalnya tidak bekerja dan mengikuti sesuatu yang tidak jelas, ia juga memperingatkan untuk tidak mengikuti tahayul dan mitos serta tunduk membabi buta pada tradisi dan kebiasaan (lihat dalam UUD 45 dan undang-undang lainnya tentang kebebasan berekspresi).
Kedua, Hak untuk hidup, merdeka dan keamanan diri. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an (An-Nisa ayat 29) yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.***