
KOMINPRO-Kuatnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dengan berbagai ancaman sangsi yang sangat berat bagi pelakunya, tidak memberikan efek jera bagi segelintir orang untuk tetap melakukan praktek korupsi. Walaupun, pembenahan bidang hukum terus dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya korupsi sampai saat ini tetap berlangsung. Oleh karena itu, perlu dilakukan sinergitas antara pendekatan hukum dan non hukum melalui introdusir opsi non penal karena korupsi tidak hanya terjadi oleh faktor hukum pidana saja tapi juga faktor lainnya.
Demikian disampaikan Rektor Unisba, Prof. Dr. H. Edi Setiadi, S.H., M.H. saat menjadi Keynote Speaker dalam Webinar Nasional ke 2 “Pengelolaan Kampanye Antikorupsi di Media Sosial Pasca Covid-19” yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Unisba secara virtual melalui zoom dan live streaming Youtube, Rabu (29/07).
Rektor mengatakan, opsi non penal bisa dilakukan melalui pendekatan integral berupa pembangunan sosial, ekonomi, politik, budaya, moral dan administratif. “Pemberantasannya harus melalui social reform yaitu pembaharuan paling tidak pada sikap mental, sistem politik dan sistem sosial,” ungkapnya.
Menurutnya, opsi non penal bisa dilakukan melalui berbagai langkah yakni dengan menghapuskan kondisi-kondisi objektif yang menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi. “Opsi non penal harus didayagunakan karena didalamnya terkandung kebijakan sosial dana kebijakan pembangunan,” ujarnya.
Kemudian lanjutnya, opsi ini dapat dilakukan dengan mengembangkan prevention withot punishment yakni memberikan alternatif sanksi. Selain itu Rektor menambahkan, dapat dilakukan dengan mendayagunakan berbagai perguruan tinggi dan lembaga lainnya (LSM) untuk bersama-sama memerangi perilaku korupsi dengan berbagai program pendayagunaan peran serta masyarakat. “Kita punya Tri Dharma Perguruan Tinggi, Pusat Kajian Anti Korupsi dibawah LPPM, punya Fakultas Hukum dan lainnya. Bisa kita gunakan kesemuanya untuk bersama-sama memerangi korupsi,” terangnya.
Terakhir Rektor menjelaskan, langkah yang dapat diambil yaitu melalui pembenahan disektor budaya hukum masyarakat. “Bukan rahasia umum lagi bahwa masyarakat Indonesia senang menerabas hukum. Sepanjang ada celah hukum masyarakat akan tetap melakukan perbuatan menerabas hukum tersebut, baik hukumnya diubah atau aparat penegak hukum nya, masyarakat akan berusaha mewujudkan keinginan-keinginan tersebut,” pungkasnya.
Lebih lanjut Rektor menuturkan bahwa peran serta masyarakat sebagai kontrol sosial secara dini dapat membantu mendeteksi, mengawasi dan melaporkan tindakan korupsi sehingga semua masyarakat tidak terkecuali harus menjadi subjek pemberantasan korupsi.
Sementara itu, Ketua LPPM Unisba, Prof. Dr. Atie Rachmiatie, M.Si., mengungkapkan, tujuan diselenggarakannya webinar ini sebagai sumbangsih dari kelembagaan untuk menambah wawasan, trigger dan kesadaran dari berbagai pihak terkait masalah korupsi. Selain itu menurutnya, sebagai langkah untuk menyamakan midset bahwa korupsi adalah masalah bersama, penyakit masyarakat yang harus dibasmi, diwaspadai, dijaga dan diawasi bersama sehingga terhindar dari perilaku korupsi.
Prof. Atie berharap, melalui webinar ini dapat terciptanya kolaborasi serta sinergi dalam membangun konsorsium sehingga bersama-sama dapat menghasilkan sebuah riset dan pengabdian kepada masyarakat.
Webinar ini diikuti kurang lebih 190 orang peserta dari berbagai wilayah di Indonesia, serta menghadirkan 3 orang narasumber lainnya yakni Guru Besar FISIP USU, Prof. Dr. Erika Revida, MS., Dekan Fikom Unisba, Dr. Septiawan Santana, M.Si. dan Direktur Pascasarjana Unisba, Prof. Dr. Neni Yulianita, MS. (Eki)