
KOMINPRO – Sebagaimana lembaga pemerintahan pada umumnya , Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga yang syarat penuh dengan beban komunikasi. Ada sejumlah alasan, pertama secara normatif, DPRD dituntut untuk transparan, akuntable, dan terbuka. Kedua, secara nature, lembaga DPRD dibentuk sesuai UUD untuk merangkum dan mengikat keberagaman yang ada di masyarakat.
Demikian dikatakan Rismanto, Spd M.Ikom, Ketua DPRD Kabupaten Bandung Barat saat memberikan kuliah umum Magister Ilmu Komunikasi Pascasarjana Unisba yang dilakukan melalui zoom, Kamis (17/6). Menurutnya, baik secara institusi maupun personal seorang anggota DPRD, politisi, atau aktor politik lainnya harus pandai memanage informasi. Apalagi di era digital saat ini, kesadaran masyarakat akan tugas pokok dan fungsi dewan maupun pemerintahan semakin tinggi.
“Tuntutan publik semakin hari semakin banyak karena mereka bertambah cerdas. Masyarakat makin tahu tugas pemerintah itu apa. Hak-hak publik tersebut menuntut kami untuk bisa mengimbangi itu dan kemampuan komunikasi yang baik sangat diperlukan karena jika penyampaian pesan yang dilakukan tidak sesuai maka dapat berakibat fatal,” ujarnya.
Di samping itu, beliau menambahkan, perkembangan sosial media yang semakin gencar, menuntut politisi untuk bisa memanfaatkan platform tersebut sebagai alat komunikasi politik. Menurutnya, seorang politisi harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Meskipun Rismanto tidak lahir sebagai generasi milenial, beliau beranggapan bahwa media sosial bisa menjadi kendaraan politik untuk berkomunikasi dengan masyarakat, khususnya generasi Y dan Z.
“Saya lahir ketika era digital baru bersemi, tapi generasi milineal Y dan Z lahir ketika era ini sedang berlimpah. Jadi agar bisa terpilih sebagai perwakilan rakyat, kami butuh suara milenial sekitar 30-40% sehingga memiliki sosial media seperti facebook, twitter, dan instagram rasanya menjadi sebuah keharusan,”jelasnya.
Sementara itu, Muhammad Herry Wirawan SE. M.SI, selaku tenaga ahli di DPR RI periode 2019-2024 mengatakan, mengacu pada pemilu 2019 lalu, jumlah pemilih milenial di Indonesia saat itu mencapai angka 53%. Artinya sudah setengah jumlah pemilih yang didaftarkan KPU. Menurutnya, untuk menarik simpati generasi milenial, para tokoh politik harus memahami fungsi dan segementasi sosial media yang ada saat ini. Herry menjelaskan, generasi milenial cenderung lebih banyak menggunakan instagram dibandingkan platform lainnya.
“Konten di setiap media sosial berbeda dan kita harus bisa membaca situasi dan memanfaatkanya. Untung menggaet suara milenial, kita bisa memanfaatkan instagram dengan membuat kampanye yang berbentuk story telling disertakan kualitas gambar dan video yang baik,” tuturnya.
Selain itu, keberadaan media sosial lain seperti twitter bisa dimanfaatkan sebagai ruang untuk membangun diskusi atau wacana, maupun mengetahui opini yang sedang trend. Kemudian, Herry menambhakan the power of first 10 seconds dari youtube juga bisa dimanfaatkan sebagai media promosi untuk menarik perhatian netizen melalui video. Adapun, keberadaan whats’app bisa dimanfaatkan sebagai perantara isu yang dipublikasikan melalui media sosial ke ranah yang lebih private untuk menghasilkan snowball effects.
“Snowball effect merupakan proses terbentuknya sesuatu yang kecil menjadi besar. Dalam konteks hal ini, snowball effect merupakan ungkapan untuk penyebaran konten, atau issue brief media yang dimulai dari satu pusat dan diteruskan menjadi sebuah konten yang besar. Ini perlu diketahui karena menjadi ruang kita melakukan komunikasi publik atau politik,” pungkasnya. (Feari)