KOMINPRO-Pascasarjana Unisba kembali menyelenggarakan Sidang Terbuka Promosi Doktor Ilmu Hukum secara luring di Aula Pascasarjana Unisba dengan menerapkan protokol kesehatan, Kamis (03/12). Sidang terbuka yang diketuai Rektor Unisba, Prof. Dr. H. Edi Setiadi, S.H., M.H. ini menghadirkan 2 orang promovendus yaitu H. Didi Hilman, S.H., M.H., M. Pd. I. pada pukul 09:00 s.d. 11:00 WIB dan Mia Amalia, S.H. M.H pada pukul 13:00 s.d. 15:00 WIB.
Adapun disertasi yang disidangkan Pak Didi berjudul “Tindak Pidana Agama Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif Dihubungkan dengan Hak-Hak Asasi Manusia” dengan tim promotor Prof. Dr. H. Edi Setiadi, S.H., M.H. dan Dr. H. Tata Fathurrohman, S.H., M.H. Dari sidang tersebut Dosen Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun Bogor ini dinyatakan lulus serta memperoleh Gelar Doktor Ilmu Hukum dengan IPK 3,76 dan predikat sangat memuaskan.
Dalam pemaparannya Pak Didi menuturkan, kualifikasi perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana agama menurut hukum Islam adalah perbuatan-perbuatan yang mencemarkan(tadnis), menghina (istihza), mengolok-olok (syatama), mencerca (saba) dan memaki (tha’an) Allah dan Rasulnya, Kitab Suci Al-Qur’an, menyerang akidah Islamiyah, serta perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari tuntunan ajaran-ajaran Islam (bid’ah).
Sedangkan menurut hukum positif, kata Pak Didi, perbuatan-perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana agama dibedakan menjadi: heresy, blasphemy, hate speech, perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam Pasal 175 KUHP, Pasal 176 KUHP, Pasal 177 ke 1, Pasal 177 ke-2 KUHP, Pasal 178 KUHP, Pasal 179 KUHP, Pasal 180 KUHP, Pasal 181 KUHP dan Pasal 503 ke-2 KUHP.
Keberadaan delik agama, kata Pak Didi, sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tidak bertentangan dengan hak-hak Asasi Manusia. “Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam the Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik (the International Convention on Civil and Political Rights), dan Undang-Undang Dasar 1945,” jelasnya.
Pak Didi menuturkan, konsep hak-hak asasi manusia yang dianut oleh bangsa Indonesia tidak serta merta mengikuti pemikiran Barat, seperti yang dikemukakan oleh para filsuf abad ke-17 dan 18, yaitu Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-1755), dan Rousseau (1712-1778). Pemikiran HAM Barat, tambahnya, bersifat anthropocentric, sekularistik, liberalistik, dan individualistik, sehingga pengakuan bangsa Indonesia terhadap the Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia) dan Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik (the International Convention on Civil and Political Rights) bersifat relatif dan parsial.
“Pengakuan terhadap Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (the Universal Declaration of Human Rights) dan Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik (the International Convention on Civil and Political Rights) dibatasi oleh budaya dan agama,” terangnya.
Sedangkan, disertasi yang disidangkan Bu Mia berjudul “Penegakan Hukum Terhadap Praktik Prostitusi di Wilayah Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopuncur) Sebagai Upaya Kebijakan Kriminal dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia” dengan tim promotor Prof. Dr. Nandang Sambas, S.H., M.H. dan Dr. Chepi Ali Firman Z, S.H., MH. Dari sidang ini, Wakil Rektor II Universitas Suryakencana Cianjur ini dinyatakan lulus dan mendapatkan Gelar Doktor Ilmu Hukum dengan IPK 3,91 dan berpredikat cumlaude.
Hasil penilitiannya menunjukan bahwa prostitusi di wilayah Cisarua Kampung Arab dan Puncak Cipanas adalah praktik prostitusi terselubung berbalut kawin kontrak (prostitusi halal), serta belum adanya sanksi pidana penjara ataupun denda. “Hal ini disebabkan adanya kekosongan hukum dalam pengaturan terhadap pelaku dan pengguna jasa prostitusi, sehingga penegakan hukum terhadap prostitusi belum dapat dilakukan secara komprehensif,” ujarnya.
Pendekatan hukum normatif dalam memberantas praktik prostitusi, kata Bu Mia selalu gagal, tanpa dibarengi dengan upaya sosialisasi melalui pendekatan humanisme. “Maka, metode lain yang digunakan dalam mengatasi praktik prostitusi dengan pendekatan hukum nomatif yang multidispliner, disamping hukum yang berlaku digunakan faktor-faktor non hukum yang ikut munculnya masalah hukum terhadap praktik prostitusi,” paparnya.
Disamping itu menurutnya, rumusan masalah prostitusi belum berhasil maka aturan (KUHP, Perda, aturan lainnya) diperlukan suatu revisi atau penggantian aturan yang baru dengan menyusun isi pasal-pasal dengan menggunakan data hukum yang utama dibantu oleh data-data non hukum seperti data sosial/sosiologi, budaya, ekonomi, politik, pendidikan, agama.
Bu Mia mengatakan, faktor internal yang mempengaruhi terjadinya praktik prostitusi di wilayah Bopuncur karena rendahnya standar moral dan keimanan; kurangnya keterampilan, keahlian dan pendidikan yang dimiliki; gaya hidup yang konsumtif; serta rendahnya kesadaran bahaya penyakit seks bebas HIV AIDS. Sementara, untuk faktor eksteral, lanjut Bu Mia, prostitusi ini masih terjadi karena kesulitan ekonomi; adanya kerjasama dengan masyarakat setempat; pesatnya pembangunan industri pariwisata; lemahnya sanksi dan penerapan hukum dalam penanganan prostitusi; keadaan geografis iklim yang sejuk; kurangnya pengawasan dan kasih sayang dari keluarga; serta pergaulan yang salah.
Kemudian, kata Bu Mia, penegakan hukum pidana terhadap praktik prostitusi dalam upaya kebijakan kriminal dihubungkan dengan pembaharuan hukum pidana di Indonesia adalah merumuskan dan merubah isi pasal dari setiap peraturan baik KUHP, undang-undang atau Perda untuk dapat menjerat pelaku atau jasa pengguna prostitusi, melakukan razia secara kontinyu, adanya rehabilitasi bagi pelaku prostitusi. Selain itu kata Bu Mia, harus dilaksanakan pendekatan hukum yang sesuai dengan konsep budaya masyarakat Bopuncur.***