(Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Rabu/16 Februari 2022)
Tafsiran yang aneh. Penyebabnya apakah memang psikologi aparat saat itu dikondisikan seperti akan menghadapi bentrokan “perang” dengan massa? Sebagaimana penampilan fisiknya yang disiapkan dengan perlengkapan anti huru-hara jika menghadapi demonstrasi besar-besaran mahasiswa? Entahlah. Wallahu a’lam bis showab. Yang jelas pernyataan eks Kapolres Purworejo AKBP Rizal Marito dalam wawancara dengan reporter salah satu stasiun TV mendadak viral dan mendapatkan respon negatif dari sejumlah pihak. Dia menafsirkan zikir hasbunallah wani’mal wakil yang dilantunkan warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, sebagai tanda bahwa massa sudah mengondisikan keadaan siap berperang.
KH. Cholil Nafis, Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengoreksi penafsiran ini. Diterangkannya bahwa zikir hasbunallah wani’mal wakil itu adalah sikap seorang hamba yang menyerahkan segala urusannya kepada Allah seraya memohon perlindungan-Nya. Zikir hasbunallah wani’mal wakil itu arti harfiahnya adalah cukuplah Allah sebagai penolong kami, tidak ada kaitannya dengan perang. Lebih keras lagi respon Kiai Muhyiddin, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, yang menilai bahwa penafsiran tersebut sebagai pernyataan provokatif, tendensius dan new trend Islamphobia. Selanjutnya dia berpesan agar semua pihak terutama para pejabat publik dan tokoh masyarakat tidak membuat pernyataan asal bunyi sebagai bentuk pembelaan diri dari masalah krusial yang dihadapi,
Psikologi Wong Cilik
Pada dasarnya manusia itu lemah, dan Tuhan sengaja menunjukkan kelemahan manusia itu dengan berbagai cara. Adakalanya dengan memperhadapkan manusia dengan alam yang keras dan sulit ditaklukkan, lalu manusia menemukan dirinya tidak kuasa; adakalanya dengan memberinya ujian yang berat sehingga manusia sadar dirinya tidak berdaya. Pada saat menghadapi kelemahannya manusia diberikan Tuhan jalan, yaitu jalur komunikasi langsung dengan-Nya. Itulah doa, munajat dan zikir. Fasilitas ini bukan pemberian pemerintah atau negara, semua orang dapat menggunakannya sesuai dengan kebutuhannya kapan dan dimana saja. Bahkan negara harus melindunginya sebagai hak ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, dan tidak boleh menafsirkan di luar kaidah-kaidah yang melekat di dalamnya.
Doa, munajat dan zikir itu kontekstual juga. Ada konteks minta kesembuhan, keturunan, perjodohan, langgeng rumah tangga, keluar dari kemiskinan, pemerolehan pengetahuan, bahkan minta lunas utang. Ada konteks memohon perlindungan dari berbagai hal baik dari gangguan, ancaman, hambatan yang ada di luar diri maupun godaan yang berkecamuk di dalam hati. Dengan doa, munajat dan zikir itu, orang mendapatkan peneguhan, keyakinan, harapan dan kekuatan jiwa sehingga lebih siap menerima dan menghadapi kenyataan. Ini soal menyehatkan mental, seperti pesan dalam lagu Indonesia Raya, “…bangunlah jiwanya, bangunlah badannya…”.
Rakyat kecil, wong cilik atau mustadh’afin punya psikologinya sendiri yang konek dan konteks dengan doa, munajat dan zikir, yaitu kekhawatiran adanya berbagai kemungkinan yang akan diterimanya saat berhadapan dengan (arogansi) kekuasaan. Mereka berlindung kepada Yang Maha Kuasa ketika yang berkuasa justru tidak memberikan perlindungan sebagaimana yang diharapkannya. Dalam al-Qur’an Surah Al-Nisa’ (4) ayat 75, diilustrasikan tentang doa mereka, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri (Mekkah) ini, yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau!’. Terkait wong cilik ini, Moeslim Abdurrahman — seorang cendekiawan muslim, intelektual, aktivis masyarakat sipil, dan penggagas “Islam Transformatif”, pernah memperkenalkan konsep the new mustadh’afin yaitu kategori sosial yang lahir dari penindasan struktur kapitalisme nasional maupun global yang tidak adil, yang muncul sebagai diskriminasi dan persekusi mereka yang kuat terhadap mereka yang lemah, dan kesewang-wenangan kelompok superordinate kepada kelompok subordinate.
Pendekatan Aparat
Pasal 2, 4, 5 dan 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan dengan sangat jelas bahwa aparat kepolisian melaksanakan fungsi dan tujuan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Di satu sisi kita semua mafhum, aparat kepolisian memiliki tupoksi yang berat, terkadang sangat kompleks dan sarat dilemma karena dikelilingi multi interest. Namun di sisi lain, kita juga mendukung, bangga dan selalu berharap memiliki jajaran kepolisian yang, seperti motto institusinya: professional, modern dan terpercaya. Hal ini sebagaimana dipesankan oleh Menko Polhukam Mahfud MD bahwa Polri tidak saja dituntut profesional, tetapi juga akuntabel kepada pemangku kepentingan, diantaranya dengan menggunakan kewenangannya secara bijak dan santun kepada masyarakat, disamping lebih mengedepankan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
Untuk profesional, modern dan terpecaya, aparat tidak cukup hanya berbekal mandat operasional dengan berbagai perangkat lapangannya, melainkan membawa serta mandat tupoksional yang menuntut kecerdasan emosinal dan kecerdasan sosial terhadap psikologi massa yang dihadapi. Psikologi di lapangan bukan hanya soal menghadapi benturan, gesekan dan bentrokan, tapi menghadapi psikologi massa yang merasa hak-hak asasiahnya tertindas. Kalau mereka gagal meminta perlindungan dari penguasa, mereka akan memintanya dari Yang Maha Kuasa. Berzikir!***