OPINI: Warung Makan dan Puasa oleh Asep Dudi S. (Wakil Dekan I FTK Unisba)

(Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Selasa/21 Maret 2023)

Ramadhan adalah bulan suci ummat Islam. Di dalamnya kaum muslimin disyariatkan melaksanakan ibadah puasa sebagai ibadah utama. Tentu ada ibadah lainnya, baik yang khusus hanya pada bulan ini, maupun peningkatan kualitas ibadah yang sebenarnya biasa dilaksanakan juga pada bulan-bulan di luar Ramadhan. Hampir setiap tahun jelang atau setelah masuk bulan puasa, selalu muncul wacana menghormati orang yang sedang berpuasa, salah satunya dengan himbauan agar warung-warung makan tutup pada siang hari.

Menilai persoalan warung makan yang buka siang hari pada bulan Ramadhan sebaiknya mempertimbangkan tiga hal. Pertama, kepentingan pihak yang membuka warung;  kedua, kepentingan mereka yang mendapatkan keringanan tidak berpuasa; ketiga, kepentingan orang-orang yang berpuasa. Untuk menghubungkan ketiga pihak ini dapat diambil landasan normatif sebagaimana diungkapkan ayat al-Qur’an yang artinya,” saling tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa. Dan janganlah kalian saling menolong dalam dosa dan permusuhan.” – qs. al-Maidah 2.

Mereka yang membuka warung berhajat mendapatkan penghasilan sebagai nafkah kehidupan keluarganya sebagaimana hal ini diwajibkan agama, ..dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya (qs. al-Baqarah 233). Sebagaimana pula dinyatakan dalam surah lainnya, hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya ((qs. ath-Thalaq ayat 7). Dengan cara pandang yang tidak dikotomis maka berdagang dan bentuk usaha halal lainnya merupakan sebentuk wujud pengamalan agama. 

Adapun berpuasa di bulan suci Ramadhan adalah wajib hukumnya. Namun demikian ada sejumlah kalangan yang mendapatkan keringanan (rukhshah) tidak menjalankannya. Mereka adalah orang-orang yang sedang melakukan perjalanan atau safar, perempuan yang haid, hamil atau menyusui, mereka yang udzur karena sakit, lanjut usia, masih kanak-kanak, juga pekerja berat yang harus menggarap pekerjaan yang tidak bisa ditunda atau dielakkan. Juga anggota masyarakat lainnya yang non muslim. Dalam situasi dan kondisi tertentu boleh jadi membutuhkan warung makan untuk memenuhi keperluannya.

Di pihak lain, mereka yang menjalankan ibadah puasa namun tidak memungkinkan memasak sendiri pastinya akan mencari keberadaan warung makan, baik ketika sudah masuk waktu sahur atau berbuka, maupun di luar waktu tersebut sebagai persiapan atau persediaan. Mahasiswa yang kost, para penunggu pasien di rumah sakit, diantara sebagian pihak yang memerlukan warung makan. 

Lalu bagaimana dengan mereka yang muslim namun memang tidak melaksanakan puasa bukan karena mendapatkan rukhsah (dispensasi) dan bahkan tidak mempunyai udzur apapun. Mereka mencari warung makan semata karena ingin menutupi rasa laparnya, sebagaimana yang biasa dilakukannya di luar Ramadhan? Maka hal itu adalah tanggung jawabnya di  hadapan Tuhannya. Yang terbaik bagi mereka adalah perlunya memahami dan menyadari bahwa puasa adalah bagian dari syariat yang harus diamalkan. Pengabaian atau kesengajaan meninggalkan salah satu rukun terpenting agama ini merupakan keingkaran dan dosa yang wajib dihindari.   

Etika Ramadhan

Banyak alim ulama yang menyatakan bolehnya berdagang makanan siang hari pada bulan Ramadhan untuk kepentingan sebagaimana diuraikan sebelumnya. Namun demikian, Ramadhan adalah tetaplah bulan suci umat Islam berbeda dengan bulan-bulan lainnya karena ada amalan puasa di dalamnya. Maka pertimbangan etis perlu menjadi perhatian setiap pihak.

Para pemilik warung makan selayaknya memperhatikan etika melayani kebutuhan pembelinya. Membuka/menutup warung di waktu-waktu tepat, memasang tanda pengingat secara tertulis bahwa warungnya hanya melayani mereka yang tidak berpuasa karena rukhshah dan udzur, memasang tirai sehingga dagangannya tidak terlihat secara kontras, merupakan langkah-langkah etis menghormati syiar Ramadhan. 

Etika bagi mereka yang memanfaatkan warung makan karena sedang memperoleh rukhshah atau udzur tidak menjalankan puasa, hendaknya tidak demonstratif mengonsumsi makanan sehingga dilihat oleh sebarang orang banyak. Melainkan dengan melakukannya di tempat yang telah disediakan pemilik warung dan terlindung dari penglihatan khalayak.

Berdagang makanan tidak perlu dipandang sebagai modus menggoda orang yang sedang berpuasa. Tidak juga dipandang sebagai tidak menghormati orang yang sedang berpuasa. Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya bahwa ia adalah sebentuk ikhtiar menjalankan perintah agama mencari sumber nafkah penghidupan keluarga. Seandainya bisa saja pemilik warung menjadi lebih kreatif mengubah dagangannya menjadi penyedia makanan untuk waktu berbuka dan bersahur saja. Namun tentunya tidak bisa digeneralisir harus dan bisa seperti begitu. 

Dengan demikian ungkapan menghormati orang yang bepuasa bisa ditambah dengan ungkapan lainnya yang lebih lengkap, yaitu menghormati orang yang berpuasa, menghormati orang yang diizinkan agama untuk tidak berpuasa, dan menghormati orang yang sedang menjalankan perintah agama mencari rezeki sebagai kewajiban bagi keluarganya. 

Sebagaimana ayat muawanah (saling menolong) yang dikutip di depan, bahwa hendaknya melalui amalan-amalan agama ini setiap pihak saling menolong dan mendukung tegaknya nilai-nilai kebajikan dan ketakwaan. Tidak boleh terjadi bahwa disebabkan sebuah amalan ibadah yang difahami dan disikapi dengan perspektif yang parsial, yang muncul justru permusuhan, kezaliman dan dosa. Jika saling menolong dan menghormati dijalankan, maka akan dirasakan bahwa Ramadhan adalah berkah bagi semua.*** 

Press ESC to close