(Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Kamis/08 Desember 2022)
Tok, sah sudah RKUHP menjadi undang-undang yang akan diberlakukan dalam beberapa waktu ke depan. Sebuah undang-undang yang telah lama mengalami pergulatan dalam pembuatan dan pengesahannya. Dimulai dari tahun 1963 dan baru disahkan pada tahun 2022. Penantian yanag lama itu sekarang berahir walaupun tetap dengan pro kontra tentang pemberlakuannya.
Selama ini kita mengenal Ada tiga urgensi kenapa kita harus segera memiliki KUHP baru. Sebagaimana kita ketahui bahwa KUHP yang sejatinya adalah Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlands Indie sudah berusia 200 tahun, KUHP peninggalan kolonial ini merupakan hukum pidana aliran klasik yang melindungi kepentingan individu, bukan kepentingan masyarakat dan negara. Hukum pidana dipakai sebagai sarana balas dendam, Alasan kedua KUHP peninggalan kolonial tersebut sudah out of date padahal kita sudah masuk pada jaman 5.0, dan ini yang sangat penting dan tanpa kita sadari bahwa di lingkungan praktik peradilan juga di perguruan tinggi banyak versi KUHP yang dipakai sehingga mengganggu penegakan hukum.
Misalnya dalam penegakan hukum pidana, ketika seseorang disangka melakukan kejahatan aparat penegak hukum memakai terjemahan KUHP yang mana untuk menuduh tersangka tersebut. Ini menjadi penting penentuan keabsahan dari suatu terjemahan karena terdapat perbedaan yang mendasar dari masing-masing terjemahan tersebut sehingga dapat mengganggu rasa keadilan bagi para pencari keadilan (justiabelen).
Misalnya dalam pasal 362 KUHP terdapat frasa kata melawan hak dan melawan hukum (terjemahannya) sebab kedua istilah ini ada perbedaan prinsipil. Melawan hak pasti melawan hukum, tapi tidak sebaliknya,.melawan hukum belum tentu melawan hak. Dengan demikian apabila penegak hukum salah memahami maka akan merugikan pencari keadilan. Belum lagi tentang perbedaan terjemahan dalam ancaman hukuman
Misalnya, dalam tindak pidana Makar: adalah permufakatan jahat ancamannnya berbeda, terjemahan yang satu hukuman mati sedangkan yang lain 6 thn. Ketika di pengadilan harus ditentukan terlebih dahulu terjemahan mana yang akan dipakai supaya ada kepastian hukum dan jelas bagi terdakwa untuk membela diri. Pemggunaan KUHP yang tidak ada kepastian hukum sehingga bisa saja menyebabkan penghukuman yang salah.
KUHP Harapan Baru.
Sesungguhnya apabila kita cermati dan hati kita jujur, KUHP baru merupakan sesuatu yang baru, hal ini terlihat dalam Buku I terlihat perubahan yang signifikan, disini membuktikan bahwa dalam KUHP baru ini sudah berorientasi kepada keadilan korektif yang artinya bukan penjahatnnya yang diberantas akana tetapi kejahatannya, keadilan restorative menunjukan walaupun seseorangg sudah tersangkut perkara pidana maka tujuana pemidananan itu adalah untuik membangun kembali sikap yang lebih baik, dan keadilan rehabilitative yang lebih menekankan re sosialisasi daripada pemnghukuman. Hal ini berbeda jauh dengan KUHP lama yang berorientasi kepada aspek punitive (penghukuman) saja
Konsekuensi logisnya maka filosofi pemidanaan pun berubah, Pidana penjara bukan merupakan hal yang utama, Dalam penjatuhan pidana Hakim harus memperhatikan beberapa aspek misalnya batasnya/standar/parameternya sebanyak 13 standar.. Fungsinya untuk membatasi kebebasan hakim. Dan ini merupakan bentuk kemajuan dari pemikiran lama bahwa hakim adalah corong undang-undang
Dalam menentukan lamanya hukuman, KUHP baru mempunyai system yang disebut modified delfi system yaitu harus memperhatikan 7 (tujuh) kriteria. Hukuman maksimal bisa dijatuhkan kalau semua kriteria terpenuhi, tetapi kalau hanya 5 kriteria maka hukumannya yang lebih ringan. Dengan demikian secara eksplisit verbis KUHP baru ini tidak lagi mencederai rasa keadilan masyarakat. Malah secara progresif KUHP baru ini menegaskan bahwa apabila kepastian hukum bertentangan dengan keadilan, maka yang harus dimenangkan adalah keadilan. Hukum haruslah mempunyai fungsi keadilan, kemanfaatan dan kepastian
Keluhan masyarakat tentang perbedaan hukuman antara satu tempat dengan tempat lain walaupun kasusnya sama dapat diminimalisir bahkan tidak akan terjadi lagi (disparitas pidana), karena hakim mempunyai pedoman yang jelas dalam memutus suatu perkara yang sama , tanpa mengurangi sifat otonom dari hakim dan stelsel pemidanaan yang dianut. Hakim mempunyai banyak pilihan dalam menjatuhkan hukuman dan memikirkan hukuman alternatif selain dari pidana penjara.
Penolakan terhadap pemberlakuan KUHP baru ini disatu sisi adalah hak setiap orang dengan beragam argumentasinya, tetapi agak janggal juga apabila masih berkeinginan memberlakukan KUHP lama yang jelas-jelas spirit, jiwa dan filosofinya adalah kolonial, atau pertanyaannya kenapa kita tidak menolak sekaligus Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 yang notabene memberlakukan Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlands Indie.
Masyarakat mungkin harus diberi pengertian, membuat sebuah KUHP yang dapat memenuhi harapan seluruh masyarakat Indonesia tentu tidak mungkin, sebab bisa saja suatu perbuatan yang harus dinyatakan sebagai sebuah tindak pidana, antara satu daerah dan daerah lain masyarakatnya berbeda pandangan. KUHP kita dibangun di atas dasar kemajemukan/heteregonitas masyarakatnya.
Akan tetapi pro kontra yang terjadi dalam menyikapi pengesahan KUHP baru, tidak perlu dilakukan dengan cara-cara yang tidak beradab. Saluran resmi dan yang lebih eleegan untuk menguji isi KUHP baru ini dapat dilakukan melalui mekanisme Uji materil di Mahkamah Konstitusi. Dan kalaupun tetap masih diberlakukan maka kepercayaan penuh kita serahkan kepada apparat penegak hukum untuk menjalankan KUHP baru tersebut. Jalannya penegakan hukum akan membawa hasil apabila semua pihak bertumpu kepada prinsip penegakan hukum yang bertumpu pada asas keadilan, keseimbangan dan kemanfaatan bagi semua pihak. Dengan KUHP yang dianggap tidak aspiratif, ademokratis dan mengekang HAM, maka dengan aparatur penegak hukum yang berintegritas, akan dicapai suatu penegakan hukum yang memenuhi prinsip supremasi of justice.***