Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Selasa/28 Mei 2024)
Beberapa tahun yang lalu, publik dihebohkan dengan kasus Pina Garut yang diadili dan didakwa karena melanggar Undang-undang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi, kini muncul kasus Vina Cirebon yang merupakan korban dari kejahatan seksual dan penghilangan nyawa.yang terjadi tahun 2016, Kedua kasus ini sama-sama mendapat perhatian yang besar dari masyaraakat walaupun kontruksi hukumnya berbeda yang satu sebagai pelaku dan yang satu lagi sebagai korban.
Sesungguhnya kasus Vina ini adalah kasus yang biasa-biasa saja dalam arti tidak ada yang Istimewa dari kontruksi perbuatan maupun kontruksi hukumnya. Sebuah kasus yang juga biasa bagi kepolisian, tidak ada yang sulit untuk pengungkapannya. Menjadi masalah dimulai ketika pertama kali polisi mengatakan bahwa tewasnya Vina karena kasus kecelakaan lalu lintas tunggal. Sebuah pernyataan terburu-buru dari kepolisian yang dapat dikategorikans sebagai sebuah tindakan yang tidak professional
Secara yuridis formil, kasus Vina ini telah selesai dengan diadili dan dihukumnya delapan orang pelaku setelah semua putusan pengadilan bersifat inkracht van de gewijs de zaak,(berkekuatan hukum tetap), tidak ada Upaya hukum biasa yang dapat dilakukan lagi manakala para napi dan seorang yanag sudah bebas ini menyatakan bahwa mereka bukan pelakunya kecuali melalui Upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali.
Sifat Putusan Hakim
Persoalan dan kehebohan dalam kasus Vina ini muncul Ketika keluarga korban mellalui penasihat hukumnya mempersoalkan kembali kasus ini, terutama setelah tiga orang yang dinyakatakan DPO (daftar pencarian orang) sampai sekarang belum tertangkap. Dan disinyalir dari tiga orang DPO inilah menurut versi penasihat hukum keluarga Vina akan mengungkap pelaku sebenarnya dari pembunuhan Vina ini. Keluarga meyakini bahwa 8 orang yang sudah diadili dan dijatuhi hukuman itu bukan pelaku sebenarnya melainkan orang yang “dipaksa” mengaku sebagai pelaku
Kenapa hakim sampai bisa berkeyakinan dan berkesimpulan bahwa delapan orang ini adalah pelakunya? Secara doktriner hakim itu bebas dalam atau untuk mengadili sesuai dengan hati nuraninya/keyakinannya tanpa dipengaruhi oeh siapapun. Hakim bebas untuk memeriksa, membuktikan dan memutuskan perkara berdasarkan hati nuraninya. In casu bahwa hakim mempunyai keyakinan setelah mendengar lebih dari satu saksi dan alat bukti yang terungkap di pengadilan sehingga kedelapan terdakwa ini dihukum. Persoalan bahwa baik saksi maupun alat bukti yang disodorkan di pengadilan semuanya tidak benar, itu soal tingkat profesionalitas dari diri hakim semata.
Apabila benar bahwa ke delapan orang ini ini bukan pelakunya tentu saja, inilah yang disebut dengan eror in persona (salah orangnya) sekaligus juga telah terjadi eror in iuris (salah hukumnya). Konsekuensinya maka secara normative yang bersangkutan/keluarganya berhak mengajukan peninjauan kembali atas hukuman yang dideritanya karena telah terjadi eror in persona sekaligus eror in iuris, dan selanjutnya melakukan rehabilitasi kepada kedelapan orang ini
Perolehan keadilan
Masyarakat menilai bahwa kasus Vina adalah cerminan dari proses peradilan yang sesat yang dimulai dari penyidikan, penuntutan dan proses peradilannya, oleh karena itu baik keluarga Vina sendiri maupun masyarakat, meminta kasus Vina ini diungkap sejelas-jelasnya agar tampak keadilan di masyarakat. Ulpianus salah satu filsuf pada masa Romawi sudah mengingatkan kita dengan ucapannya yang terkenal honeste vivere, alterum non laedere, sumquiqe tribuere (hidup jujur, tidak merugikan sesama manusia dan setiap orang mendapat bagiannya)
Aparat penegak hukum harus menyadari bahwa perolehan keadilan itu bukan melulu untuk korban, tapi juga untuk pelaku dan masyarakat. Pengungkapan kasus Vina secara terang benderang akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap cara berhukum kita. Oleh karena itu secara teknis yudisial barangkali pengungkapannya bisa dimulai dari pemeriksaan para penyidik terdahulu, serta menggali secara detail keterangan para terdakwa yang sekarang sedang menjalani pidananya dan yang lebih penting adalah menangkap seluruhnya orang yang di DPO kan oleh polisi.
Bahwa betul kasus ini sudah mempunyai kepastian hukum dengan telah inkrachtnya perkara ini, namun harus diingat bahwa perolehan keadilan mempunyai porsi yang pertama dan paling utama daripada kepastian dan kemanafaatan. Dus sebenarnya pada sidang di Tingkat pertama hakim harus sudah berpikir tentang kejanggalan perkara ini, apalagi seluruh terdakwa mencabut BAP di tingkat penyidikan, dari sini sebenarnya hakim harus mempunyai perasaan ragu, dan tidak ada salahnya hakim menggunakan asas in dubio proreo sebagai keberpihakan kepada tersangka. Asas in dubio proreo ini menandakan bahwa bisa saja penegak hukum itu bertindak salah, oleh karena itu untuk meminimalisir kemungkinan penerapan hukum yang salah maka premis ini mengatakan jika ada keraguan, hakim harus menerapkan hukum yang paling menguntungkan terdakwa, dan elaborasinya muncul maksim lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah
Due Process of Law
Sistem peradilan pidana sebagai mekanisme system dalam mewujudkan keteraturan dalam proses peradilan telah memperkenalkan apa yang disebut dengan due process of law (proses hukum yang baik). Dengan demikian tidak ada salahnya apabila proses ini dimulai lagi dari pemeriksaan ulang terhadap semua yang dituduh sebagai baik sebagai actor intelektual maupun eksekutor pembunhan Vina. Aparat penegak hukum tidak harus mempunyai rasa malu untuk mengurai kembalai kasus Vina sehingga terwujud arbitrary process (proses hukum yang baik)
Konsep keseimbangan kepentingan dalam kasus Vina harus dapat diwujudkan dengan cara membuka tabir kegelapan dalam proses penanganan perkara ini, memberi ganti rugi dan rehabilitas kepada orang yang tidak bersalah tapi dinyatakan sebagai pelaku dan diadili serta dihukum sebagaimana diatur dalam KUHAP, serta mencari dan memproses pelaku sesungguhnya sehingga sehingga penegakan hukum dapat mendatangkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan.