OPINI: Tarik RKUHP oleh Prof. Dr. H. Edi Setiadi, S.H., M.H. (Rektor Unisba)

(Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Selasa/21 Juni 2022)

RKUHP yang dicanangkan sejak tahun 1963 sampai sekarang belum ada tanda-tanda disahkan oleh DPR. Ada keinginan untuk dipaksakan pada bulan juli ini setelah melewati waktu 59 tahun akan tetapi tetap masih menyisakan persoalan-persoalan hukum baik tentang isi maupun filosofi dari suatu pasal dalam RKUHP tersebut.

Secara idiil baranhgkali persoalannya sudah selesai, karena kita yakin bahwa isi RKUHP sesuai dengana filosofi bangsa dan dasar negara kita Pancasila. Kita bersepakat bahwa bangunan RKUHP haruslah mencerminkan suatu produk perundang-undangan dari sebuah negara yang merdeka dan berdaulat serta menjunjung tinggi demokrasi. Dengan demikian tidak oleh ada satu pasal pun yang mencerminkan spirit kolonial, spirit liberalisme dan kapitalisme. RKUHP harus dibangun dalam spirit keindonesiaan yang menjungjung tinggi keharmonisan dan kepentingan yang seimbang yaitu kepentingan negara, masyarakat dan orang perorangan dalam hal ini pelaku dan korban.

Beberapa masalah krusial dalam rancangan KUHP sudah sering dikemukan oleh para pakar yang dimuat di media massa termasuk liputan di koran kita ini (Pikiran Rakyat), dan semua uraian serta pendapat itu belum bisa menyelesaikannya sehingga tetap saja RKUHP belum dapat diundangkan.

Apabila kita bebicara persoalan pokok dalam hukum pidana, maka ada tiga persoalan yaitu tentang perbuatan, tentang orangnya dan tentang sanksi yang dapat dijatuhkan. Semua persoalan pokok dalam hukum pidana ini sudah diwujudkan dalam suatu kebijakan kriminal dalam proses legislasi yaitu terbentuknya RKUHP. Akan tetapi yang merupakan fokus persoalan adalah rumusan pasal-pasal tersebut dan sanksi yang perlu dijatuhkan.

Merumuskan suatu perbuatan pidana tentu saja harus dimulai dari filosofi atau latar belakang suatau perbuatan dinyatakan sebagai suatu tindak pidana, dalam Bahasa sosiologis bagaimana sebuah perbuatan yang tadinya bukan merupakan suatu tindak pidana menjadi suatu tindak pidana yang diancam dengan hukuman (kriminalisasi), kedua apakah merumuskan suatu perbuatan menjadi sutu tindak pidana nantinya bisa ditegakan atau tidak, jangan sampai kita menyatakan suatu perbuatan menjadi tindak pidana akan tetapi manakala ketika akan ditegakan melalui alat pelenegkapan negara tidak bisa ditegakan, kemudian apakah rumusan perbuatan menjaid suatu tindak pidana itu mempunyai arti atau tidak, sebab banyak suatu rumusan tindak pidana yang tidak memenuhi kaidah-kaidah perumusan suatu tindak pidana dalam perundang-undangan pidana.

Misalnya apakah pasal-pasal santet masih perlu ada dalam KUHP kita yang akan datang, apakah suatu perbuatan in abstracto bisa dijadikan suatu tindak pidana? Apakah pasal perkosaan dalam keluarga masih patut dicantumkan sebagai suatu tindak pidana mengingat sifat patrilineal masyarakat Indonesia pada umumnya, bagaimanakah merumuskan suatu perbuatan dianggap menghina pejabat negara atau pemerintah. Bagaimana beda kritik dengan menghina. Ini adalah persoalan mengkriminalisasi suatu perbuatan yang tidak bisa dirumuskan secara materil.

Sebetulnya untuk menghapuskan berbagai persoalan krusial dalam RKUHP, bisa kita lakukan dengan menggunakan tiga tolok ukur tadi, ditambah apakah rumusan dalam RKUHP itu sesuai dengan alam Indonesia merdeka, apakah dapat dijalankan atau apakah mempunyai arti bagi penegakan hukum. Sebab syarat utama suatu undang-undang pidana itu haruslah memenuhi asas lex certa/the law must be clear yaitu kepastian hukum dan tidak multi tafsir.

Yang harus juga mendapat perhatian dari pemerintah adalah penentuan politik hukum kearah mana suatu undang-undang in casu RKUHP akan diarahkan. Menentukan politik hukum dalam hal ini politik hukum pidana menjadi penting karena ini berkaitan dengan politik kebijakan, khususnya kebijakan sosial dan kebijakan pembangunan. Kebijakan sosial haruslah diarahkan kepada pemenuhan kesejahteraan masyarakat dalam hal ini kesejahteraan berupa ketenangan dalam kehidupan sehari-hari, kebijakan pembangunan juga berkaitan dengan kebijakan pembangunan dalam konteks RKUHP adalah kebijakan pembangunan kehidupan demokrasi. Dengan demikian RKUHP harus lah mencerminkan kehidupan demokratis yang sudah mulai tumbuh di Indonesia.

Penentuan politik hukum (pidana) haruslah diarahkan bahwa kita betul-betul masih mempertahankan sebagai suatu negara hukum. Ciri sebuah negara hukum adalah salah satunya undang-undang yang mengedepankan kesetaraan di masyarakat, walaupun dibolehkan untuk beberapa hal ada hak prevelege dari seseorang dalam hal ini pejabat negara. Misalnya penulis masih dapat menyetujui dalam RKUHP masih ada pasal tentang penghinaan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, sebab walaupun bagaimanapun presiden dan wakil presiden itu wujud dari reprsentasi rakyat sehingga masih perlu dihormati dan dijaga kehormatannya, dengan menetapkan bahwa pasal tersebut tetap merupakan delik aduan bukan delik biasa.

Menentukan suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana, juga haruslah yang menyangkut perbuatan konkrit manusia/perbuatan jasmani dalam pengertian perbuatan yang in concrito bukan hal perbuatan yang in absstracto, sebab hukum tidak mengatur hal-hal yang gaib, hukum hanya mengatur tentang hal yang konkrit saja, gunanya adalah untuk memudahkan pembuktian dan menghindari terjadinya eror in iuris dan error in persona, sebagai wujud dari prinsip memenuhi keadilan.

Perumusan perbuatan yang konkrit menjadi suatu tindak pidana juga dengan sifat hukum pidana yang keras dan akan mendatangkan nestapa berupa penghukuman. Oleh karena itu perumusan yang cermat, teliti dan jelas haruslah tercermin dalam RKUHP. Dalam doktrin hukum pidana manakala seseorang telah berhubungan dengan hukum pidana, maka orang tersebut tidak bisa kembali lagi sebagaimana sebelum berhubungan dengan hukum pidana. Dalam hukum pidana berlaku asas litis piniri oportet yang artinya suatu perkara itu harus ada ujung penyelesaiannya.***

Press ESC to close