(Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Senin/04 April 2022)
Di dalam bulan Ramadhan itu ada orientasi-orientasi besar yang perlu direnungi dan dijadikan sumber pembelajaran, agar kita kembali kepada asas dan prinsip fundamental. Orientasi pertama, la’allakum tattaqun – agar bertakwa; kedua, la’allakum tasykurun – agar bersyukur; dan ketiga la’allahum yarsyudun – agar berlaku dalam kebenaran. At-taqwa menjadikan kita berkomitmen dengan aturan, as-syukr mengarahkan kita adil menjalankan segala sesuatu sesuai seharusnya, dan ar-rusyd mendorong kita menjadi manusia yang lurus, baik dan benar.
Karena itu Ramadhan menjadi bulan yang sangat baik untuk menyucikan diri, menyucikan keluarga, masyarakat, menyucikan negara, bangsa dan pemerintahan. Menyucikannya dari syahwat, agar terbersihkan dari dosa individual, dosa kolektif, dosa sosial dan dosa nasional. Karena boleh jadi selama ini syahwat ini telah mendorong kita ke dalam penyimpangan atas konsistensi moral dan etik, dan pelanggaran terhadap komitmen nilai-nilai dasar yang disepakati atau diyakini.
Noda Politik
Korupsi dan oligarkhi adalah diantara manifestasi syahwat politik dan kekuasaan. Plato menggambarkan oligarki sebagai “sebuah konstitusi yang penuh dengan banyak penyakit”, diantara penyakitnya yaitu keserakahan. “Semua kecenderungan para intelektual rusak ketika mereka bergaul dengan kekuasaan”, Kata Clive James. “Di mana ada kekuasaan, keserakahan, dan uang, di situ ada korupsi’, kata Ken Poirot. Power in the hands of the reformer is no less potentially corrupting than in the hands of the oppressor, kata Derrick Bell.
Tujuan utama korupsi dan oligarki adalah mengumpulkan dan melestarikan kekayaan dan kekuasaan. Oligarkh mempunyai kepercayaan diri yang kuat bahwa nasib terbaik bagi bangsa atau negara ada di tangan mereka. Mereka juga menyinonimkan kepentingan mereka sebagai kepentingan negara dan rakyat banyak. Mereka meyakinkan khalayak bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk kebaikan semua. Efek dari ini adakalanya harus menciptakan “kebohongan”. Politisi berbohong karena publik secara tidak disadari sebenarnya tidak ingin mendengar kebenaran, mereka hanya ingin mendengar apa yang mereka inginkan. Lies sound like facts to those who’ve been conditioned to mis-recognize the truth, kata DaShanne Stokes. Kebohongan adalah fakta bagi mereka yang terkondisikan tidak mengenali kebenaran.
Syahwat itu naluriah/instingtif. Dalam hal ini, kita nyaris banyak miripnya dengan binatang. Menuruti hasrat, mengejar kesenangan dan kepuasan, abai baik-buruk, benar-salah, pantas ataupun tidak pantas, anormatif dan egosentristik. Pada atmosfer seperti itulah syahwat politik bekerja. Syahwatsphere.
Politik adalah seni meraih kekuasaan. Namun seni yang satu ini rawan dikoptasi kekuatan syahwat. Ngeri-ngeri sedap jika suatu jabatan politik diraih berdasarkan rumus-rumus syahwat. Karenanya semua pihak terlibat perlu mengendalikan syahwat politik, jangan sampai dominan, tidak liar dan destruktif. Karena itu bagian esoterik maupun eksoterik syahwat politik perlu pendampingan hati nurani, nalar kritis/akal yang sehat, dan sistem nilai luhur dan beradab.
Ketika hasrat politik membuncah, ada hati nurani yang menasihati agar membersihkan niat dan orientasi, memperhatikan rambu kebajikan (virtue), menakutinya dengan hal-hal yang tidak menyenangkan bila syahwat bertindak semaunya, dan memberinya harapan dan kegembiraan bila syahwat mengikuti saran dan ajakan kebajikan. Hati nurani mengajak syahwat politik untuk tidak menghalalkan segala cara.
Syahwat politik harus dikolaborasikan dengan nalar kritis dan akal sehat, supaya ada rasionalisasi normatif yang memberikan pertimbangan sebab-akibat, menunjukkan analisis dan pertimbangan kritis tentang serbakemungkinan baik-buruk, maslahat- mudharat dan skala prioritas yang lebih besar dan berjangka waktu panjang; mengobyektifikasi tujuan dan strategi, serta mengalkulasi tindakan yang diambil untuk tidak sekedar memenuhi hasrat kebutuhan, kesenangan dan kepuasan semata. Dengan kata lain syahwat diajak untuk “berfikir” secara jernih.
Syahwat politik perlu dikolaborasi dengan sistem nilai yang luhur dan beradab, supaya perilaku politik mempunyai kebemaknaan dalam pandangan Tuhan dan manusia. Sistem nilai ini harus mengajarkan dan menundukkan syahwat politik terhadap prinsip nilai moral dapat agar tidak menempuh cara dan jalan kotor dan menjijikkan. Sebaliknya mentransformasikannya ke dalam atribut nilai dan makna yang mulia: amanah, tanggung jawab, kejujuran, keadilan, transparansi, patriotism, mendahulukan kepentingan yang lebih maslahat, dan nilai-nilai lainnya akan membantu syahwat untuk meninjau ulang pilihan dan kemungkinan cara yang akan diambilnya. Sistem nilai ini menjadi landasan dan koridor berpolitik.
Di Ramadhan ini, ada satu diksi yang patut direnungkan. Imam di dalam al-Qur’an itu sering dimaknai “pemimpin”. Dalam Surat Al-Baqarah Ayat 124, “dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia’. Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku’. Allah berfirman, ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim’. Allah mengisyaratkan bahwa kriteria utama kepemimpinan adalah tidak boleh ada dominasi syahwat politik atau kekuasaan; tidak boleh berfikir, bersikap dan bertindak zhalim; kepemimpinan tidak serta merta dijustifikasikan kepada orangtua atau leluhur; dan kepemimpinan harus selaras dengan norma hukum dan sistem nilai dasar. Inilah prinsip fundamental kepemimpinan yang barokah.***