OPINI: Rakyat dan Political Quotient oleh Asep Dudi S. (Wakil Dekan I FTK Unisba)

(Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Selasa/16 Januari 2023)

Demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat hanya bisa berhasil jika rakyat memiliki kecukupan dalam political quotient (kecerdasan berpolitik). Mendelegasikan mandat mengelola negara dengan segala kompleksitasnya kepada seseorang yang disebut kepala negara/kepala pemerintahan, serta wakil rakyat jelas bukan urusan sembarangan, apalagi dianggap ecek-ecek. Faktanya, rakyat mempunyai beragam tingkat kecerdasan berpolitik, namun masing-masing mempunyai hak suara yang sama yang bisa diberikannya kepada siapapun yang dicenderunginya. Siapa yang mereka pilih tergantung pada level mana political quotient si pemilih berada. 

Political Quotient atau kecerdasan politik merupakan seperangkat pengetahuan dan berfikir (kritis dan analitis), kesadaran serta keterampilan seseorang yang menjadi landasan untuk membuat keputusan politik dan melibatkan diri dalam urusan politik. Kecerdasan ini memungkinkannya untuk memahami, menyadari, menyikapi, beropini, mengkritisi, berpihak, memilih peran, dan berpartisipasi dalam  lanskap politik yang dinamis secara bertanggung jawab.

Namun, kenyataannya kecerdasan politik ini bisa saja menjadi tumpul atau tidak berkembang dengan baik. Peyebabnya banyak, antara lain misinformasi dan disinformasi dimana rakyat terpapar oleh informasi palsu atau menyesatkan sehingga persepsi dan akurasi pemahamannya tentang masalah politik terdistorsi. Sebab lainnya, sikap apatis dan berlepas diri, abai dan acuh tak acuh karena selama ini politik dianggap sesuatu yang kotor, siapapun penguasanya tidak berdampak perubahan, dan alasan lainnya. Faktor lain, bias media massa dan media sosial yang menggiring publik pada pemahaman miring tentang sesuatu atau seseorang dalam konteks politik.

Rendah atau lemahnya kecerdasan politik dapat pula disebabkan keterbatasan akses informasi sehingga menghambat berkembangnya pengetahuan politik dan keterampilan berfikir kritis-analitis. Bisa pula, karena kurangnya pendidikan kewarganegaraan (civic education), sikap fanatik akibat polarisasi politik, juga atmosfer otoritarianisme dimana kebebasan politik diawasi, dibatasi, diintimidasi bahkan dikriminalisasi.  

Jika ingin meningkatkan kualitas berdemokrasi, diperlukan upaya serius meningkatkan kecerdasan politik warga negara secara edukatif, informatif, dan partisipatif, misalnya melalui pendidikan kewarganegaraan yang komprehensif yang  mengajarkan dasar-dasar pemerintahan, proses politik, dan pentingnya keterlibatan sipil. Perlu juga melebarkan akses informasi, pendidikan berfikir logis-kreatif-kritis dan literasi media agar rakyat terbiasa mengevaluasi informasi secara selektif memilah misinformasi, disinformasi dan informasi yang valid.

Upaya lainnya, mendorong munculnya atmosfer dan lingkungan di mana orang dapat berdialog, berdiskusi, berbagi perspektif, belajar mendengar secara aktif, belajar menyampaikan perspektif secara etis, tanya-jawab dan berdebat secara argumentatif terutama dengan kandidat politik baik calon eksekutif maupun legislatif sehingga rakyat bisa menilai kompetensi, kapabilitas, kapasitas dan integritas mereka. Hal ini bisa dilakukan di forum-forum formal maupun nonformal, di ruang-ruang terbuka yang menjadi simpul dan pusat beragam komunitas. Pendekatan-pendekatan ini, didukung oleh pemanfaatan teknologi informasi dan media digital dapat memberdayakan masyarakat menciptakan warga negara yang memadai literasi politiknya. 

Tentu pemerintah turut berperan penting dalam meningkatkan kecerdasan politik rakyat sebagai bagian integral dari amanat konstitusi melalui proses pendidikan warga negara. Untuk itu jangan sampai apa yang dilakukan pemerintah sengaja atau tidak sengaja mengurangi kecerdasan politik. Kok bisa begitu? Membatasi atau mengendalikan akses terhadap informasi berbeda (misalnya pendapat yang mengkrtisi pemerintah), menyebarkan propaganda dan narasi politik untuk mengendalikan persepsi warga, membatasi ruang gerak oposisi, bias dalam pembelajaran kewarganegaraan yang menyebabkan warga negara kurang memahami hak dan tanggung jawab politiknya, merusak integritas rangkaian proses pemilu dan menodai proses demokrasi, adalah antitesis pencerdasan politik rakyat.

Dalam konteks kontestasi pemilihan presiden/wakil presiden, kecerdasan politik warga negara akan menentukan tipe capres/cawapres yang bagaimana yang mereka pilih. Warga negara dengan kecerdasan politik yang cukup tinggi mungkin akan membuat keputusan politik memilih kandidat dengan menimbang dan mengalkulasi profil indiividu setiap pasangan calon, latar belakang pendidikan, sosial-budaya, sosial-ekonomi, prestasi dan rekam jejak, reputasi daerah-nasional-internasionalnya, visi dan proposal pembangunan multiaspek kerakyatan, kerangka kebijakan ragam urusan dalam begeri dan luar negeri, menganalisis risiko ideologis-ekonomi-sosial-politiknya jika paslon tersebut dipilih.

Individu dengan kecerdasa politik yang baik mungkin akan intens mengikuti setiap tahapan proses politik pemilihan presiden/wakil presiden, mempelajari dokumen resmi visi-misi para kandidat, mencermati forum debat resmi yang diadakan KPU, mengikuti pergerakan kampanya mereka ke daerah-daerah, bersikap kritis-rasional–obyektif dalam mencerna lalu-lintas informasi, mencari referensi yang relevan sebagai pendukung atau pembanding, membuka diskusi dengan sesamanya, atau memproyeksikan kemungkinan-kemungkinan politis yang bisa terjadi. Dengan begitu mereka mungkin menganggap bahwa pemungutan suara adalah tanggung jawab sipil yang harus ditunaikan sebaik-baiknya. 

Hasil pemilihan presiden/wakil presiden sebagai salah satu manifestasi demokrasi sejatinya membutuhakn para pemilih yang cerdas politik. Merekalah yang menentukan kualitas demokrasi tersebut, bukan sekedar mayoritas suara dan legitimasi semu. Demokrasi yang baik dan bermutu tidak bisa dilahirkan melalui pencitraan, konsumsi hoax, limpah ruah baliho/spanduk paslon, pawai dan arak-arakan partai pendukung, terlebih operasi bagi-bagi uang yang silent/vulgar. Pilpres bermutu hanya dilahirkan melalui pencerdasan politik rakyat (ADS). Akankah pesta demokrasi tahun 2024 nanti akan melahirkan pemimpin produk demokrasi berkualitas? Semoga saja.***

Press ESC to close