(Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Kamis/06 Oktober 2022)
Kasus tewasnya ratusan aremania (syuporter Klub Arema) di stadion Kanjuruhan, di samping mendatangkan duka yang mendalam, juga menyisakan pertanyaan siapa yang secara moral dan hukum bertanggungjawab hilangnya ratusan nyawa tersebut. Terlepas dari sesuatu itu kehendak Tuhan, maka kewajiban manusia untuk mencari sebab musabab terjadinya hal tersebut sebagai pembelajaraan supaya peristiwa serupa tidak terjadi lagi.
Mencari sebab musabab dari suatu peristiwa kemasyarakatan, maka mau tidak mau akan sampai juga kepada “akibat”. Suatu perisitiwa yang menimbulkan akibat menurut hukum, maka harus dicari siapa yanag paling bertanggungjawab atas tragedi tersebut dan sejauhmana pertanggungjawaban seseorang atau Lembaga yang menjadi kausalitas dari akibat tersebut.
Perkembangan dari peristiwa Kanjuruhan ini pihak kepolisian sudah melakukan penyelidikan dan sekarang sudah dinaikan kepada tahap penyidikan dengan memeriksa saksi-saksi. Dalam tahap penyidikan kepolisian tinggal mencari alat bukti dan saksi sehingga apabila ini terpenuhi maka tinggal menentukan siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban pidanaa dus jadi tersangkanya.
Kontruksi Hukum
Suatu peristiwa yang sudah menjadi ranah polisi, tentu saja itu artinya ada suatu kejahatan atau suatu tindak pidana yang terjadi. Tindak pidana tentu berhubungan dengan ilmu hukum pidana. Dalam peristiwa Kanjuruhan yang melibatkan puluhah ribu supporter dan menewaskan ratusan orang, tentu bukan perkara yanag gampang untuk menyelidikinya. Karena harus mengurai apa dan kenapa peristiwa kematian ratusan supporter itu.
Dalam ilmu hukum pidana dikenal adanya aljran kausalitas. Hanya dengan teori kausalitas inilah yang dapat menentukan penyebab yang paling dekat dan signifikan dalam peristiwa kanjuruhan ini. Apakah panitia pertandingaan yang menjadi penyebab utama, ataukah supporter yang tidak mempunyai tiket pertandingan yang memaksa masuk sehingga stadion menjadi over kapasiti, apakah gas air mata yang ditembakkan oleh polisi, , atau bahkan menyentuh manajamen pertandingan yang tidak becus mengatur pertandingan baik waktu, dan memikirkan resiko yang timbul dan sebagainya.
Pengungkapan hal-haal tersebut diatas menjadi penting karena peristiwa materil nya sudah terjadi sehingga tetap harus dicari faktor yang menentukan, Setelah itu baru akan terlihat siapa yang bertanggungjawab. Pertanggungjawaban pidana berhubungan dengan pertanyaan apakah itu dilakukan dengan kesengajaan atau hanya kealpaan saja. Kedua unsur dari tindak pidana ini lah yang dapat menentukan seseorang dihukum atau dibebaskan dari segala tuduhan.
Apabila dikatakan bahwa peristiwa itu dilakukan dengan sengaja, maka yang harus dibuktikan adalah bahwa memang kematian supporter ini betul-betul diinhginkan oleh pelaku (opzet all ogmerk/sengaja sebagai maksud). Pelaku memang mempunyai maksud untuk menghilangkan nyawa ratusan supporter ini. Tetapi hal ini tidak mungkin. Bentuk kesengajaan lainnya adalah sengaja dengan kesadaran kemungkinan. Pelaku harus menyadari bahwa perbuatannya secara kemungkinan akan menyebabkan sesuatu akibat. Menilik ajaran ini maka terjadap peristiwa kanjuruhan peluangnya fifti-fifti atau bisa mungkin bisa tidak.
Apabila kita melihat ajaran kesengajaan dalam bentuk nya yang ketiga yaitu sengaja dengan kepastian, peluangnya besar. Disini harus dibuktikan bahwa siapapun nantinya pelaku maka dia harus sudah menyadari apabila menentukan suatu keputusan atau kebijakan maka kemungkinan terjadi hal lain sangat besar. Misalnya dalam peristiwa kanjuruhan, dengan memasukan supporter melibih kapasitas maka sadar kepastian akan terjadi kekacauan, atau menembakakn gas air mata maka sadar kepastian bahwa akan terjadi chaos dan kepanikan.
Yang lebih memungkinkana dan mempunyai peluang yang sangat besar adalah apabila kepada Pelaku dikenakan delik kelalaian. Jadi pelaku berbuat lalai yang menyebabkan kematian kepada seseorang in casu dalam peristiwa kanjuruhan ratusan orang, misalnya dari sudut kurangnya perhitungan menghitung kapasitas stadion dan tiket pertandingan yang dicetak melebih kapasitas tersebut.
Semjua kemungkinan masih terbuka lebar, yang penting adalah polisi membuat pertimbangan haruslah hati-hati karena sebab musababnya beragam. Misalnya penggunaan gas air mata. Di lapangan kita harus menduga bahwa ada yang memerintah dan ada yang diperintah. Harus diselidiki apakah penggunaan gas air mata dalam regulasi PSSI dibenarkan atau tidak, bagaimana SOP polisi dalam penggunaan gas air mata, apakah Tindakan melemparkan gas air mata tersebut sesuai dengan SOP atau tidak. Pendek kata semua aturan boleh atau tidaknya penggunaan gas air mata harus menjadi focus concern dari penyidik.
Dengan demikian pertanggungjawabana pidana dapat diarahkan kepada pelaku atau pembuat karena yang bersangkutan melakukan perbuatan yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan tertentu yang terlarang. Membuktikan perbuatan terlarang dapat dilihat dari jumlah tiket yang melebihi kapasitas dan menyebabkan suporter tidak bertiket masuk, kemudian tidak melakukan antisipatif pengamanan yang memadai dan persiapan-persiapan lainnya yang seharusnya dilakukan namun tidak dilakukan. Unsur-unsur ini apabila tidak dilakukan akan membuat pelaku dapat dipidana.
Ketika timbul pertanyaan siapa yang harus bertanggungjawab?. Apabila melihat uraian di atas tadi maka tentu saja pertanggungjawaban pidana itu harus dibebankan kepada pihak-pihak yang diberi tanggungjawab untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Atau yang menjadi pelaku adalah apabila seseorang melakukan penyimpangan terrhadap peraturan yang secara khusus mengatur pertandingan sepaka bola dengan turunan lainnya.
Satu hal yang menjadi kebiasaan buruk kita adalah tidak adanya pihak-pihak yang secara moral berani menyatakan bertanggungjwab secara moral atas terjadinya kerusuhan di Kanjuruhan. Sifat-sifat kesatria dan rasa tanggungjawaab kepada jabatan sudah sirna dari hati para pemangku kepentingan ini. Yang ada adalah saling menyalahkan atau menuduh salah satu pihak sebagai biang kejadiaan.