(Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Kamis/10 Maret 2022)
Sewaktu masih di Sekolah Dasar, sejarah adalah mata pelajaran pavorit. Sejarah tentang kerajaan-kerajaan Nusantara dan intrik-intriknya hingga era kemerdekaan dan Gerakan 30 September, juga sejarah bangsa-bangsa lain walaupun sekilas. Hal tersebut sejalan dengan hobi membaca buku-buku yang berisi cerita rakyat atau dongeng legenda dan fabel, sebagaimana membaca buku atau komik wayang yang berkisah Ramayana dan Mahabarata. Untuk yang satu ini ditambah hobi menonton pentas wayang golek semalam suntuk di kampung ketika ada acara kenduri sunatan atau pernikahan. Semuanya membekas.
Membaca buku sejarah membangun persepsi dan konsepsi tentang masa lalu. Berkaitan dengan kapan, dimana, siapa dan peristiwa apa dengan segala latar konteks yang diangkatnya. Melalui sejarah masa lalu direkonstruksi, disusun dengan semua elemen yang terlibat di dalamnya. Melalui sejarah masa lalu dihadirkan di masa kini, menjadi bahan penalaran dan memupuk kesadaran karena sadar atau tidak kita mendapatkan makna yang bisa jadi bekal hari ini dan masa depan. Seperti pesan al-Qur’an, ”…hendaklah tiap diri memperhatikan apa yang berlalu untuk (menghadapi) esok hari,.,” (al-Hasyr 18-19). Atau seperti ungkapan lainnya, “…sesungguhnya dalam kisah-kisah mereka (ummat terdahulu) terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal…” (al-Qur’an Surat Yusuf ayat 111).
Apakah dalam sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 ada distorsi informasi. Para sejarawan yang memiliki kejujuran hati nurani dan keandalan akademik seharusnya bisa memaparkannya dengan obyektif dan komprehensif berdasarkan data yang valid. Yang pasti Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang penetapan 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara masih bergulir menjadi polemik.
Dua hal yang menjadi sumber perdebatannya. Polemik pertama karena muncul nama Sukarno dan Hatta sebagai turut andil menyetujui dan menggerakkan pelaksanaan serangan umum, sementara keduanya sudah “ditangkap” saat tentara Belanda melancarkan agresi keduanya ke Yogyakarta sebagai ibukota Republik. Keduanya saat serangan umum dirancang sedang menjalani pengasingan di Bangka. Peran pemerintahan Republik di Yogyakarta yang lumpuh diambil alih oleh Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi sejak Desember 1948 hingga Juli 1949 yang dipimpin Syafruddin Prawiranegara. Polemik kedua, bersamaan dengan munculnya kedua nama tersebut, nama Letkol Suharto tidak disebut selain pada naskah akademik Keputusan Presiden tersebut.
Distorsi Sejarah
Apakah suatu sejarah dapat mengalami distorsi? Bisa saja terjadi, pengubahan sejarah dengan cara memberikan informasi tentang fakta, peristiwa, dan data dalam rangka mempromosikan suatu ideologi atau kepentingan politik tertentu. Sejarah menjadi terdistorsi ketika pertanyaan tentang kapan, dimana, siapa, runutan peristiwa dan elemen kontekstual lainnya dijawab dengan versi yang berbeda. Yang tidak terjadi menjadi terjadi atau sebaliknya, atau meniadakannya sama sekali, Seiring waktu, informasi baru akan tertanam dan diterima sebagai kebenaran, sedangkan pengetahuan dan keyakinan lama akan mati menyertai para saksi mata yang satu per satu tutup usia.
Mubarak Ali, baru-baru ini dalam The News – sebuah harian Pakistan, mensinyalir bahwa kecenderungan politik, afiliasi dengan kelas sosial-ekonomi, atau pengaruh partai dan penguasa dapat saja mendorong sejarawan memanipulasi data atau “salah menafsirkan“ suatu peristiwa sejarah. Menurutnya, penting untuk membaca sumber dasar penulisan sejarah dengan cermat dan mencari tahu maksud tersembunyi yang ada di dalamnya.
Jika posisi dimana distorsi sejarah begitu besar dan kuat, maka fakta dan kebenaran sejarah akan sulit diungkap. Dalam hal ini, kebenaran dan kepalsuan sejarah sama-sama memiliki sumber daya yang kuat untuk mengukuhkan hegemoninya yang kemudian diyakini oleh masyarakat sebagai bukti kuat dari peristiwa masa lalu. Kata Mubarak, sejarah yang terdistorsi akan mencemari pikiran orang, membangun wawasan yang menyimpang dan menciptakan kesadaran sejarah palsu yang menyesatkan.
Fundamental kesejarahan yang akan membuat sejarah menjadi sumber pendidikan yang sehat bagi sebuah bangsa adalah dimensi etis, baik dalam pencarian fakta dan data sejarah, penyusunan rekonstruksi sejarah, pemaparan dan publikasi sejarah dan juga legitimasi formal suatu peristiwa sejarah. Ada semacam kebajikan intelektual yang perlu ditegakkan dalam membangun bangsa yang besar. Karena bangsa yang besar bukan hanya dibentuk oleh kisah kebangkitan dan kesuksesannya di masa lalu, melainkan oleh kisah kejatuhan dan kegagalannya pula. Bangsa yang besar adalah bangsa yang siap menerima masa lalunya apa adanya.
Legitimasi formal atas peristiwa sejarah dalam level dan maksud tertentu boleh jadi diperlukan. Namun legitimasi tersebut haruslah berdampak pada edukasi bangsa tentang kebenaran dan kejujuran sejarah. Sekiranya suatu peristiwa sejarah perlu dikoreksi maka koreksi tersebut tidak boleh mengayunkan bandul politik dari satu kutub ke kutub lainnya yang membuat bangsa tetap buram memandang masa lalunya.
The examplar theory of history memandang sejarah adalah sumber teladan bagi kehidupan manusia, disebabkan dengan sejarah kita belajar mengenai nilai-nilai dan norma-norma masa lalu yang menginspirasi masa kini dan yang akan datang. History is a continuity and change mengajarkan kita tentang kesadaran waktu bahwa kehidupan itu bertumbuh, berkembang, dan berubah. Berubah ke arah nasib bangsa yang lebih baik, mestinya.***