OPINI: Ketuk Palu MK oleh Asep Dudi S. (Wakil Dekan I FTK Unisba)

(Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Rabu/17 April 2024)

Pilpres 2024 banyak meninggalkan polemik yang belum pernah dialami sebelumnya, dan itulah yang sedang diperdebatkan para pihak pemohon, termohon dan terkait dengan segala bekal argumentasi hukum, bukti, saksi dan ahli masing-masing di hadapan yang mulia para hakim Mahkamah Konstitusi. Banyak pihak mencermati prosesnya dan menanti hasilnya dengan harap-harap cemas.

Dalam salah satu sesi awal sidang MK, Mahfud MD sebagai unsur pemohon sempat mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi/Mahkamah Agung di Austria, Ukraina, Bolivia, Kenya, Malawi dan Thailand, pernah membatalkan hasil pemilu sesudah memastikan secara yuridis dan konstitusional telah terjadi kecurangan dalam proses pemilu mereka. Apakah hal yang sama akan terjadi untuk perkara pilpres di Indonesia? MK sendiri dalam kasus pemilu kepala daerah pernah membatalkan kemenangan Soekarwo atas Khofifah Indar Parawansa di Pilkada Jawa Timur, juga mendiskualifikasi pemenang pemilukada Bengkulu Selatan dan Kota Waringin Barat. 

Pembatalan

Dalam fatsun normatif politik, peluang pembatalan hasil pilpres dimungkinkan jika terjadi sejumlah kondisi yang ekstraordinary, misalnya indikasi kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif; perbedaan signifikan antara DPT dan rekapitulasi perolehan suara, cacat prosedural yang serius; ditemukan kekerasan, intimidasi, atau pemaksaan yang menyudutkan pemilih tidak bebas menentukan pilihannya; pelanggaran peraturan atau ketentuan konstitusional tentang pemilu yang berintegritas; kegagalan sistemik dalam penyelenggaraan pemilu; adanya laporan pengamat independen internasional tentang penyimpangan yang mempengaruhi proses dan hasil pemilu; dan ketidakpercayaan publik terhadap pemenuhan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sejumlah faktor tadi adalah juga yang didalilkan oleh pemohon kepada MK.

Terkait dugaan pelanggaran Pilpres 2024, seorang ahli yang dihadirkan pihak pemohon menyoroti empat hal penting: jenis pelanggaran yang diatur dalam UU Pemilu,  kewenangan MK memeriksa jenis pelanggaran di luar yang diatur UU Pemilu, KPU sebagai penyelenggara pemilu melakukan pelanggaran dalam tindak lanjut keputusan MK, serta kewenangan MK mendiskualifikasi peserta pilpres. UU Pemilu dan Pemilukada hanya mengatur dua hal saja perihal pelanggaran TSM yaitu money politik dan pelanggaran administratif. Namun dalam fakta persidangan sebelumnya tentang PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) kepala daerah, MK pernah pula memutus jenis pelanggaran di luar yang atur undang-undang, yaitu: manipulasi syarat pencalonan, politik uang, politisasi birokrasi, kelalaian petugas, manipulasi suara, ancaman/intimidasi, dan netralitas penyelenggara pemilihan. 

Demikian juga dalam PHPU Pilpres tahun 2019, MK pernah memeriksa pelanggaran TSM di luar yang diatur undang-undang, yaitu: ketidaknetralan aparatur negara, diskriminasi perlakuan hukum, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN/APBN/program pemerintah/anggaran BUMN, pembatasan kebebasan media/pers, DPT yang janggal, kekacauan sistem informasi perhitungan suara (Situng), penghilangan dokumen hasil suara. Walaupun pada saat perkara itu diputus dalil yang diperkarakan tidak terbukti, Mahkamah menegaskan bahwa MK berwenang melakukan pemeriksaan jenis pelanggaran TSM di luar yang diatur oleh UU. Dengan demikian MK tidak hanya berwenang memeriksa perkara kuantitatif yaitu perselisihan angka hasil pemilu, melainkan juga memeriksa perkara kualitatif yaitu jenis-jenis pelanggaran yang melingkupi proses pemilu. Artinya, jika mahkamah menilai telah terjadi pelanggaran TSM sehingga proses pilpres terselenggara secara tidak adil, tidak jujur dan curang, maka pembatalan hasil pemilu sangat dimungkinkan.

Diskualifikasi

Dalam hal tindak lanjut Putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran menjadi cawapres Prabowo, ahli pemohon menilai terdapat cacat prosedur yang dilakukan KPU berupa: menetapkan paslon 02 sebagai capres-cawapres peserta pemilu sebelum mengubah Peraturan KPU yang masih mensyaratkan usia 40 tahun bagi calon, serta tidak melakukan konsultasi dengan DPR yang menjadi kewajiban KPU sebelum mengubah PKPU setelah keluarnya Putusan MK tersebut. Padahal prosedur tersebut menjadi penentu legalitas prosedural agar Peraturan KPU dinilai memenuhi syarat konstitusional. Disisi lain KPU hanya melakukan penyelarasan/revisi sebagian terhadap beberapa pasal PKPU perubahan, dan tidak menerjemahkan secara utuh dan lengkap dari isi Putusan MK nomor 90 tahun 2023. Jika argumen ini diterima Mahkamah untuk membenarkan dalil tidak sahnya pencalonan Gibran sebagai cawapres Prabowo maka bisa saja Gibran didiskualifikasi sebagai peserta pilpres. 

Maraton sidang-sidang MK akan berujung pada kemungkinan putusan: pengukuhan pemenang pilpres versi KPU karena semua proses dinilai sah sesuai kaidah peraturan dan konstitusi, pembatalan hasil pilpres karena dinilai sarat kecurangan sejak sebelum, ketika berlangsung, hingga pasca pemilihan umum; Gibran didiskualifikasi dan pilpres diulang dengan cawapres baru mendampingi Prabowo Subianto, atau paket capres-cawapres 02 didiskualifikasi dan paslon 01 ditetapkan menjadi pemenang. Atau ada kemungkinan lain? 

Legitimasi penyelenggaraan, proses dan hasil pilpres; integritas dan kredibilitas lembaga-lembaga demokrasi, serta dinamika, stabilitas dan peta kekuatan politik menjadi pertaruhan dari Putusan MK mendatang. Ia bisa saja menjadi keberlanjutan goyahnya marwah demokrasi dan seluruh sendi-sendinya, atau anti klimaks yang mengembalikan kepercayaan bahwa hati nurani masih bergema dalam kehidupan demokrasi  Republik ini. Namun demikian, apapun hasilnya, termasuk jika para hakim MK menilai bahwa proses dan hasil pilpres dengan segala ‘kekurangannya’ yang vulgar dan dikritisi banyak pihak adalah sah, para pihak dan semua elemen bangsa diharapkan menemukan mekanisme equilibrium yang tidak membawa nasib bangsa dan negara ke dalam keterpurukan yang lebih dalam. (ADS)*** 

Press ESC to close