(Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Rabu/09 Februari 2022)
Boleh jadi, tidak ada jurnalis lain dalam sejarah Amerika yang bisa mengungguli Seymour Hersh dalam hal intensitas membongkar pelanggaran pemerintah atau memicu kontroversi dengan mengungkap rahasia pemerintah.
Aksi pertama Hersh terjadi pada 1969, ketika jurnalis investigasi penerima penghargaan Pulitzer untuk reportase internasional ini mengungkap rahasia kelam yang ditutup rapat-rapat oleh pemerintah Amerika, yang dianggap sebagai aib paling memalukan dalam sejarah Amerika Serikat. Saat itu, Hersh menemukan bahwa militer Amerika menutupi tuduhan pembantaian terhadap sekitar 500 warga sipil desa My Lai, di kawasan Son Tinj, Vietnam Selatan.
Dari hasil penelusuran diketahui, militer melakukan investigasi rahasia atas pembunuhan tersebut dan mendakwa seorang pria, Letnan William Calley, sebagai pihak yang bertanggung jawab. Hersh segera menemui Calley dan memintanya bicara. Laporan itu memicu kehebohan nasional yang berujung pada dakwaan terhadap 25 orang pejabat militer dan calon perwira lain serta memicu kemerosotan dukungan publik terhadap perang Vietnam. Laporan Hersh itulah yang kemudian membuat jurnalis kelahiran Chicago, Illinois, Amerika, 1937 itu menggondol Pulitzer, sebuah simbol penghargaan tertinggi dalam bidang jurnalisme cetak di Amerika Serikat.
Pembongkaran kasus tersebut barulah permulaan. Hersh kembali membongkar rahasia di Kamboja, dukungan rahasia Amerika terhadap kudeta Pinochet di Chile, ulah Amerika membantu pembuatan bom atom Israel, aksi mata-mata rahasia FBI dan CIA terhadap warga, keterlibatan Presiden Ronald Reagan dalam melanggar larangan Kongres ketika diam-diam mengirim tentara melawan pemberontak Nikaragua, latar belakang dukungan Amerika terhadap bisnis narkoba diktator Panama Manuel Noriega, dan lain-lain. Bahkan, dalam kasus berbeda, sewaktu skandal Watergate ramai jadi perbincangan publik, Bob Woodward dan Carl Bernstein menilai berita Watergate yang dibongkar Hersh di New York Times sebagai “kompetitor.” Menurut pengakuan Hersh, sebagaimana disitir Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam dalam karya mereka, Blur: How to Know What’s True in the Age of Information Overload (2010), ketika ia pertama bertugas, prinsip jurnalisme yang selalu ia pegang teguh adalah “Jangan menulis sesuatu yang tak kau ketahui betul.”
Maka itu, dalam menjalankan profesinya sebagai jurnalis, Hersh kerap mengedepankan detail, sesuatu yang baginya setara dengan kehormatan, dan mengubahnya menjadi metode yang melibatkan rantai liputan sistematis.. “Jangan pernah melompati rantai itu,” tegasnya. Ia mengingatkan kepada para jurnalis muda, “Pelajari semua yang bisa Anda peroleh dari orang-orang di bawah atau di sekitar cerita. Lalu kembali, dan periksa apa yang telah Anda dapat sebelum melanjutkan. Kembalilah pada sumber lebih awal guna memeriksa apa yang mereka katakan terhadap apa yang telah Anda pelajari dari wawancara serta dokumen selanjutnya.”
Seorang editor dari sebuah koran lokal di Amerika Serikat menulis, “Kami, wartawan adalah orang biasa, karena itu kami wartawan, juga kerdil, juga dihinggapi berbagai kelemahan anak manusia. Tetapi, sekali pun kita, wartawan, sendiri dan sebagai pribadi kerdil, sebagai lembaga surat kabar, kita haruslah mulia, noble of heart dan noble of mind, luhur budi dan hatinya.” Kata-kata yang dikutip Jakob Oetama sebagai sambutan untuk buku Threes Nio; Laporan dari Lapangan (1995) itu seolah hendak menegaskan, wartawan masing-masing bisa kerdil, namun janganlah kelemahan itu dibawa ke surat kabar sebagai lembaga. Sebagai lembaga, surat kabar hanya memperoleh kepercayaan dan wibawa dan karena itu bisa berperanan, jika surat kabar itu noble, noble of heart, noble of mind, luhur budi dan hatinya.
Jakob Oetama dalam berbagai kesempatan selalu menyebut perlunya jurnalis memiliki kepekaan. Katanya lagi, “… yang seharusnya dimiliki oleh seorang jurnalis adalah kepekaan terhadap masalah kemanusiaan, hati yang hangat, solidaritas, keibaan (belas kasih, compassion), kerisauan, rasa ingin tahu, dan pengabdian.”
Kepekaan macam ini tampaknya kian dituntut pada saat masyarakat dan bangsa kita tengah dirundung berbagai derita bencana, juga merebaknya kembali pandemi Covid-19. Jurnalisme yang perlu dikembangkan pada saat ini adalah jurnalisme yang berempati pada penderitaan orang, baik yang berasal dari struktur sosial maupun yang bersifat individual.
Dalam The Elements of Journalism (2001), Tom Rosenstiel dan Bill Kovach mengingatkan kita, jurnalisme adalah panggilan kemasyarakatan yang mulia, dan mereka yang mempraktikkannya punya kewajiban yang lebih mendalam kepada pembaca dan pemirsa mereka dibanding permintaan pasar.
Dalam perspektif komunikasi, seorang jurnalis pada dasarnya adalah makhluk dua wajah, di satu sisi dia adalah seorang profesional yang dengan intelektualitasnya memiliki otonomi dan orientasi yang bersifat otentik, namun di sisi lainnya dia juga bagian atau lebih tepat disebut sebagai pekerja dalam organisasi yang digerakkan oleh manajemen dunia bisnis.
Ketika seorang jurnalis mengatakan “saya seorang profesional”, maka berarti dia mampu mengontrol emosi dan bias pada saat melakukan tugasnya. Ia mencari bahan siaran berita, lalu melaporkannya seadil dan seobjektif mungkin. Istilah profesional menunjukkan bahwa seseorang dapat berperan dalam kondisi penuh tekanan. Adalah elan atau gaya di bawah tekanan yang menetapkan ciri pertimbangannya.
Kesadaran Intelektual
Karena jurnalis adalah seorang profesional, maka konsekuensinya ia perlu menghadirkan diri dengan kesadaran intelektual. Inilah, saya kira, yang menandai kerja jurnalisme sebagai suatu profesi, bukan sekadar pertukangan. Intelektualisme profesi jurnalisme dicerminkan dari sikap independennya.
Sesungguhnya, pada hampir semua pekerjaan ada paradoks. Paradoks itu kuat pada profesi jurnalis. Jenis pekerjaannya lebih berbobot intelektual, olah pikir yang dikembangkan dalam mengamati, menggeluti, serta melaporkan kejadian dan permasalahan. Kecenderungannya bebas, serba leluasa dalam alam pikiran, alam liputan maupun alam penyajiannya. Seorang jurnalis tidak menerbitkan surat kabarnya atau menayangkan liputannya sendiri atau seorang diri. Ia berbagi dengan orang lain. Ia bekerja dalam kolektivitas. Ia bekerja dalam serba keterbatasan: keterbatasan waktu, ruang, variasi, kebebasan. Inilah paradoks besar di mana-mana. Juga dalam sistem jurnalisme.
Meski begitu, segala keterbatasan ini jangan lantas menjadi pembenaran bagi jurnalis untuk tidak bersikap profesional. Profesionalisme, sekali lagi, menuntut para jurnalis bisa meliput peristiwa dalam kondisi penuh tekanan. ***