(Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Jumat/29 Juli 2022)
Makna dasar hijrah adalah pindah, meninggalkan sesuatu menuju sesuatu yang lebih baik. Jika seseorang meninggalkan perilaku dan kebiasaan yang buruk dan merugikan dirinya dan orang lain, kemudian memulai perilaku dan kebiasaan baru yang lebih baik maka dia dikatakan berhijrah. Dikatakan hijrah juga ketika sebuah bangsa berusaha keras dan berjuang dengan susah payah menghadapi rintangan dan tantangan agar keluar dari zona tidak aman dan penuh ketertindasan menuju zona kemerdekaan dan keberdaulatan yang sesungguhnya.
Tampaknya sekarang ini kita dihadapkan pada darurat hijrah nasional, yaitu perubahan bersama, serentak dan menyeluruh dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan keberdaulatan hakiki. Dalam iklim kemerdekaan tidak boleh ada tirani dan otoritarianisme, tidak boleh ada penindasan terhadap hak-hak dasariah manusia dan warganegara, tidak boleh ada pemecahan antar elemen bangsa yang mempertaruhkan nasib integrasi nasional, tidak boleh ada politik kepentingan faksional yang mengabaikan politik kepentingan bangsa, tidak boleh ada penguasaan pihak yang kuat dengan cara melemahkan pihak yang berbeda dan berseberangan, tidak boleh ada oportunisme yang mengorupsi kesempatan dengan merugikan rakyat banyak.
Demikian pula dalam hal keberdaulatan, tidak boleh ada keterpengaruhan eksternal dan global yang memperlemah kesanggupan bangsa dan negara ini untuk berdiri di atas kemandirian dan ketahanan dirinya sendiri. Yang paling fundamental dalam hal ini antara lain adalah kedaulatan ekonomi. Utang luar negeri yang semakin menumpuk serta efektifitas pengelolaan anggaran pembangunan belakangan ini menjadi sorotan banyak pihak dengan penuh kekhawatiran. Di lini lain, harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara yang sering direcoki dengan isu-isu atas nama Pancasila, NKRI, dan kebhinnekaan, serta saling tuding antar anak bangsa dengan tuduhan radikalisme, asingisme dan terorisme dicemaskan sudah sampai pada level mengancam keutuhan bangsa.
Hijrah penegakan supremasi hukum adalah persoalan krusial beberapa waktu belakangan ini. Kewibawaan hukum dan institusi penegak hukum sedang diuji melalui sejumlah peristiwa yang mengundang kekritisan publik. Perumusan rancangan undang-undang hukum pidana yang dipandang akan mencederai iklim demokrasi karena mengancam kebebasan berpendapat dan kekritisan terhadap praktik penyelenggraan negara, penanganan DPO pelaku korupsi yang kabur ke negara jiran Singapura, dan yang paling anyar yaitu kasus polisi tembak polisi yang menuntut transparansi seterang-terangnya dan keadilan untuk semua di hadapan hukum. Semuanya akan bermuara pada tingkat optimism dan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum yang adil.
Dalam konteks hijrah, setiap elemen kenegaraan dan kebangsaan — terutama pihak yang jabatan, profesi, tugas dan fungsinya mengurusi hajat hidup masyarakat, sepertinya perlu melakukan gerakan secara sistemik, institusional dan menasional, diantaranya hijrah i’tiqadiyah, hijrah fikriyah, hijrah syu’uriyah dan hijrah sulukiyah.
Pada dimensi personal hijrah i’tiqadiyah berkaitan dengan keyakinan-keyakinan spiritual, simpul-simpul keimanan dan keagamaan, perlu hijrah dari level sekedar tahu dan percaya kepada level internalisasi dan mempribadi sehingga menjadi sumber sistem nilai dalam mengaktualisasikan diri pada dimensi-dimensi kehidupan lainnya. Pada tataran kenegaraan dan kebangsaan sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah landasan berkembangnya aspek i’tiqadiyah ini, sehingga hijrah dilakukan dengan cara menjalankan sistem pemerintahan dan penyelenggaraan negara yang semakin berpijak pada nilai-nilai spiritualitas, transenden dan agamis. Pemerintahan yang adil, amanah, dan bersunguh-sungguh mengelola sendi-sendi kehidupan umum dengan sepenuh tanggungjawab kepada Allah dan kepada rakyat.
Hijrah fikriyah tidak bisa dilepaskan dari komitmen kaidah-kaidah intelektualitas yang mengakar pada nilai-nilai kebenaran. Adapun pengembangannya berbanding dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan ekspansi teknologi dalam mengumpulkan dan mengonstruksi informasi. Hijrah di ranah ini adalah menjadikan dimensi intelektualitas, sains dan informasi tetap berada dalam kerangka nilai-nilai kebenaran dan dipersembahkan untuk setinggi-tingginya kemaslahatan rakyat. Tidak boleh keandalan dan ketangguhan di bidang ini diinfiltrasi oleh virus-virus pemikiran yang mengontaminasi cara berfikir, terlebih menjadi tuntunan berfikir para penyelenggara negara. Demikian juga rakyat, harus memiliki tanggung jawab untuk mengkapasitasi dirinya agar bisa memberikan sumbangan pemikiran yang dapat membesarkan kemaslahatan bersama.
Hijrah syu’uriyah adalah hijrah mentalitas. Para pendahulu negeri di Nusantara menegakkan marwah negerinya dengan mentalitas kejuangan yang luar biasa: kecintaan pada negeri, kesetiaan, pengorbanan, dedikasi dan loyalitas tinggi. Hal itu yang menyebabkan para penjajah tidak dengan mudah menguasai Nusantara. Ada entitas-entitas kekuatan yang tangguh menghadang dan pantang menyerah meski harus ditebus dengan darah. Generasi muda dan generasi pengelola negara, para pengusaha dan siapapun yang menjadi pilar eksistensi negeri dan bangsa ini perlu menyemai lebih baik lagi karena tantangan hari ini semakin besar dan berat.
Suluk artinya perilaku, tindakan/perbuatan. Prinsip hijrah mengharuskan aspek sulukiyah ini menjadi semakin baik. Bagi seseorang suluk mencerminkan siapa dirinya, adapun pada institusi dan pejabat publik menggambarkan komitmen, konsistensi dan integritasnya dalam menunaikan amanah. Jangan sampai muncul kebijakan, peraturan, perundang-undangan, mekanisme dan praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai fundamental kemanusiaan, kenegaraan dan kebangsaan yang merdeka, berdaulat, berkeadilan dan berkemakmuran.
Semoga pasca hijrah, akan lahir negeri yang lebih baik.***