OPINI: BPeradaban Korupsi oleh Asep Dudi S. (Wakil Dekan I FTK Unisba)

(Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Selasa/16 Juli 2024)

Pemberitaan skandal korupsi kian kesini kian marak. Menyentuh hampir banyak lini alit maupun strata elit dengan segala rupa dan bentuknya. Yang mencemaskan jika persoalan ini gagal ditangani secara serius, korupsi perlahan akan menjadi budaya dan akhirnya melahirkan peradaban korupsi.

Korupsi adalah kanker ganas yang sangat merusak integritas. Dalam teori disonansi kognitif-nya Leon Festinger, koruptor merasionalisasi tindakan korupsinya sebagai pertahanan diri mengatasi konflik batin karena tindakan ilegal yang menyimpang dari nilai-nilai moral mereka. Dalam perspektif teori pembelajaran sosial korupsi dilakukan karena pelaku mengimitasinya dari lingkungannya. Sedangkan teori norma sosial, mengidentifikasi tekanan sosial dapat mendorong individu terlibat tindakan koruptif, walaupun bertentangan dengan nuraninya. Pada tahap perkembangan moral tertentu individu adakalanya membenarkan tindakan korupsi berdasarkan “alasan moral”.

Adapun dalam sudut pandang kepribadian, narsisme, machiavellianisme, dan psikopati meningkatkan kecenderungan seseorang terlibat korupsi demi kekuasaan dan keuntungan pribadi. Tindakan korupsi dapat juga dipandang sebagai hasil keputusan rasional individu yang menimbang bahwa manfaat dari tindakan korupsi melebihi risiko/kerugian yang mereka hadapi (rational choice theory). Teori konflik memosisikan korupsi sebagai instrumen kelompok dominan untuk mempertahankan kekuasaan dan privilese dengan mengeksploitasi kelompok marginal. Dalam perspektif ini korupsi merupakan produk dari sistem sosial tidak adil yang dipelihara untuk memperkuat struktur hierarkis dan memperdalam ketidaksetaraan terutama antara massa rakyat dan kaum elit politik dan elit ekonomi.

Di sisi lain, skandal korupsi dapat dijadikan komoditas politik, dimana isu-isu korupsi dimanfaatkan untuk tujuan politik, menjatuhkan legitimasi lawan politik baik individu maupun  institusi politik, meraup dukungan publik, memperkuat legitimasi kekuasaan, atau pengalihan perhatian publik dari masalah lain yang krusial. Dalam konsep politisasi korupsi, kekuasaan politik dapat digunakan untuk menutupi atau mengungkap kasus korupsi tergantung pada kepentingan politik.

Skandal korupsi boleh jadi mencerminkan kelemahan dalam struktur politik, ekonomi dan sistem hukum. Sistem politik yang menggerusi praktik-praktik demokratis, kurangnya mekanisme akuntabilitas, independensi peradilan dan lemahnya penegakan hukum membuat koruptor tidak mendapatkan sanksi yang sepantasnya dan skandal korupsi terjadi berulang kali.  Bahkan jika aparat penegak hukum sendiri terlibat dalam korupsi, maka akan memperburuk problem korupsi. Dalam sistem patronase dan nepotisme, dimana pejabat memberikan imbalan atas dukungan politik akan membuka jalan bagi korupsi. Selain itu, skandal korupsi juga mencerminkan fundamental etika dan moral yang rendah. Semakin lunturnya sensibilitas-sensitifitas terhadap perilaku koruptif  dapat menyebabkan perilaku korup diterima sebagai perilaku yang normal dan menjadi kultur.

Agama mengajarkan untuk tidak mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar atau batil, serta tidak menggunakan hukum untuk keuntungan pribadi yang tidak adil (QS.Al-Baqarah:188); pentingnya transaksi yang fair, kesepakatan para pihak, serta melarang perbuatan yang merugikan orang (QS.An-Nisa:29); peringatan keras agar tidak melakukan kecurangan dalam timbangan dan takaran sebagai representasi praktik korupsi dalam perdagangan dan urusan ekonomi (QS.Al-Mutaffifin:1-3). Sumber moral dan etika tersebut menolak tegas segala bentuk korupsi dan menganjurkan kejujuran, keadilan, dan integritas dalam segala aspek kehidupan. Peradaban yang bebas dari korupsi adalah salah satu tujuan ajaran agama.

Korupsi adalah kezaliman, apatah lagi jika dilakukan secara masif, sistemik, sistematik dan terstruktur. Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan kata “korupsi,” banyak ayat ajaran agama yang merujuk pada perilaku yang serupa dengan korupsi yang menyebabkan kehancuran suatu bangsa atau peradaban. QS.Hud:116-117 menunjukkan bahwa kerusakan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh orang-orang zalim, adalah sebab utama kehancuran suatu peradaban; QS.Al-Qasas:58 menjelaskan bahwa banyak peradaban yang dihancurkan karena kezalimannya; QS.Al-A’raf:96 menunjukkan bahwa keberkahan dan kesejahteraan akan diberikan kepada orang-orang yang beriman dan bertakwa. QS.An-Nahl:112 menggambarkan bagaimana sebuah negeri yang tadinya adil, makmur, sentosa bisa menjadi rusak, menderita kelaparan dan ketakutan akibat mengingkari nikmat Allah dan melakukan perbuatan zalim.

Pemberantasan korupsi memerlukan strategi struktural dan kultural yang saling melengkapi agar korupsi tidak hanya dieliminir pada permukaan, tetapi juga dihilangkan dari akar dan budaya masyarakat. Strategi struktural berfokus pada perubahan sistemik dan institusional yang meliputi: reformasi hukum dan perundang-undangan anti-korupsi agar lebih efektif termasuk hukuman yang lebih berat bagi pelaku korupsi, serta perlindungan pelapor kasus korupsi, sehingga mendorong lebih banyak orang untuk melaporkan tindakan korupsi; penguatan institusi penegak hukum dan independensi lembaga anti-korupsi tanpa campur tangan kekuatan politik; peningkatkan kapasitasi dan sumber daya untuk melakukan investigasi dan penuntutan kasus korupsi dengan lebih efektif; membersihkan domain para pemangku kepentingan politik dari praktik-praktik tidak terpuji.

Adapun strategi kultural berfokus pada perubahan nilai, sikap, dan perilaku masyarakat, yang dapat dilakukan misalnya dengan mengintegrasikan pendidikan karakter anti-korupsi dalam kurikulum pendidikan, membangun budaya integritas, mendorong peran aktif elemen masyarakat sipil, memberikan insentif bagi individu dan institusi yang menunjukkan integritas dan keberhasilan dalam memberantas korupsi; menempatkan profesional pada sektor publik berdasarkan prestasi dan integritas, bukan koneksi atau imbal jasa; kampanye massal untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya integritas dan risiko/konsekuensi korupsi; memanfaatkan pendekatan seni dan budaya untuk menyampaikan pesan anti-korupsi kepada khalayak luas; serta pendidikan moral dan etika oleh agamawan dan para guru sosial (ADS).***

Press ESC to close