(Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Rabu/7 Februari 2024)
Aparat pemerintahan desa berdemo di Gedung DPR menuntut Revisi UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa disahkan sebelum Pemilu 2024. Isi tuntutan terutama soal perpanjangan masa jabatan dari enam menjadi sembilan tahun dan bisa dipilih untuk tiga periode. Apakah hal ini menggambarkan hasrat berkuasa sudah menetes dengan cepat dari level pusat hingga level terbawah? Wallahu a’lam.
Presiden Jokowi pada Desember 2023 mengundang Papdesi (Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) dan Apdesi (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) dan menyampaikan pesan agar aparat desa berposisi netral, serta menjaga tidak terjadi kecurangan dalam pilpres. Sebulan sebelumnya ribuan kepala/aparat desa se-Indonesia dikumpulkan di Gelora Bung Karno dan dihadiri oleh capres-cawapres tertentu. Manakah dari kedua event tersebut yang akan berdampak dalam implementasinya, wait and see. Terlebih belakangan ini banyak sinyal dikirimkan presiden perihal preferensinya terhadap pasangan capres-cawapres tertentu. Perlu dicatat bahwa desa/kelurahan di Indonesia menurut BPS pada tahun 2022 berjumlah 83.794.
Kepala/aparat desa adalah elementer dari segmentasi sosial yang turut bertanggung jawab menjaga kualitas dan integritas proses demokrasi. Mereka bisa melakukan berbagai tindakan legal-formal-etis misalnya, memberikan informasi objektif dan tidak memihak tentang capres dan program-programnya, memastikan berbagai tahapan proses pemilu terlaksana dengan benar-jujur-adil-transparan serta aman dan lancar, melaporkan setiap kecurangan/pelanggaran pemilu sesuai prosedur, memberikan edukasi kepada masyarakat tentang proses demokratis dan mendorong untuk menunaikan hak pilihnya, bekerjasama dengan lembaga-lembaga pengawas pemilu untuk memastikan akuntabilitas proses pemilu, memasilitasi hak semua kandidat dan pemilih tanpa diskriminatif, memberdayakan sumber daya baik dana dan fasilitas desa secara transparan-berkeadilan, serta netral dalam pernyataan, sikap dan tindakan.
Namun, tanpa bermaksud berprasangka, ruang kemungkinan aparat desa terlibat dalam tindakan tidak fair dalam tahapan penyelenggaran pemilu/pilpres juga terbuka. Diantaranya dalam bentuk penggunaan dana desa atau sumber daya desa untuk membeli/memengaruhi/memaksa/mengancam masyarakat memilih capres-cawapres tertentu, menambahkan nama-nama fiktif atau menghapus nama-nama pemilih yang tidak diinginkan, memengaruhi petugas pemungutan suara untuk memanipulasi proses/hasil penghitungan suara, memanfaatkan dana/fasilitas desa untuk mengampanyekan capres-cawapres tertentu, menyebarluaskan hoaks tentang capres-cawapres lain demi membangun persepsi publik, membatasi/menghalangi pihak yang mendukung capres-cawapres lain, mengabaikan prosedur/aturan agar menguntungkan capres-cawapres yang didukungnya, berkolusi memfasilitasi kecurangan pemilihan umum. Hal-hal ini (semoga tidak terjadi) tentunya melanggar dan menodai integritas demokrasi.
Kemungkinan tersebut bisa terjadi dengan banyak motif: keberpihakan subyektif aparat desa, atau ada stressor eksternal. Sejumlah modus mungkin saja terjadi: adanya permintaan, ancaman atau intimidasi dari atasan, tokoh, organisasi, afiliasi, bahkan preman yang memaksakan kepentingan politik tertentu; adanya imbalan materil, janji promosi jabatan, atau proteksi atas penyalahgunaan wewenang/dana desa atau aib pribadi asalkan memenangkan capres tertentu; ketidakmampuan menolak, atau bahkan bersikap wellcome ketika pihak tertentu menggelontorkan sejumlah besar dana (politik amplop/serangan fajar) untuk dibagikan kepada masyarakat dengan syarat memilih capres yang dikehendakinya.
Pengawasan Sipil
Peran masyarakat diperlukan dalam pencegahan dan penanganan kecurangan pilpres. Meskipun mungkin sebagiannya cukup berisiko. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan masyarakat jika mendapati aparat terlibat, antara lain: mendokumentasi peristiwa kecurangan secara lengkap sebagai bukti, melaporkannya kepada otoritas pemilu, mengorganisir elemen independen sebagai jejaring pemantau proses dan hasil pemungutan suara, melakukan protes damai kepada pelaksana, menyadarkan pemilih tentang hak politiknya, menolak/tidak mendukung langkah yang diambil aparat, mencari dukungan lembaga hukum, melaporkannya ke media/jurnalis agar dapat diekspose dan mendapatkan perhatian pihak berwenang terlibat.
Dalam situasi, kondisi dan lokasi tertentu anggota masyarakat yang melaporkan kecurangan pemilu bisa saja menerima resiko, setidaknya mungkin mendapatkan ancaman atau intimidasi dari pelaku kecurangan tersebut. Risiko lain, distigmatisasi, gangguan dan pemutusan hubungan/layanan sosial, pemecatan pekerjaan, pengucilan atau isolasi, bahkan kriminalisasi. Demi menjaga marwah, integritas dan keadilan, pemerintah dan lembaga/organisasi terkait harus melindungi para pejuang anti kecurangan pemilu ini, sekaligus menindak para pelanggar.
Kecurangan dalam pemilu apapun dan bagaimanapun bentuknya dan siapapun pelakunya, tidak boleh dibiarkan terjadi. Hal tersebut hanya akan mencederai proses demokratis yang berintegritas, merusak keadilan, memanipulasi kekuasaan politik, mengkhianati reformasi, dan mendelegitimasi pemerintahan. Ekses yang paling berat adalah memunculkan apatisme sosial terhadap penyelenggaraan pemilu, yang ujungnya akan menimbulkan distrust terhadap pemerintah, serta pesimisme terhadap negara.
Pejabat pemerintah, aparat birokrasi sipil, militer/kepolisian selayakya memang berdiri di tengah dalam perhelatan demokrasi yang sehat dan bersihKasus-kasus viral di media sosial (oleh sementara pihak sebagiannya dinyatakan sebagai hoaks) bahwa ada ASN dengan bersegaram secara demonstratif menyatakan dukungan pada capres-cawapres tertentu, mobilisasi kepala dan aparat desa untuk mendeklarasikan pemenangan capres-cawapres, rekaman pertemuan pejabat forum komunikasi pimpinan daerah (forkopimda) tertentu yang menyusun strategi pemenangan capres/cawapres, pidato bupati yang meminta para pegawai memenangkan paslon dukungannya, Adalah hal-hal yang akan mendiskualifikasi pemilu/pilpres bermutu.
Bahkan meskipun di dalam Undang-undang Pemilu tersurat bahwa sejumlah pejabat negara/pemerintahan dibolehkan berkampanye dan atau memihak, hal itu disertai dengan sejumlah persyaratan/ketentuan. Spirit dan fundamental etis sebuah jabatan pemerintahan adalah jangan sampai kekuasaan disalahgunakan untuk ambisi politik pribadi, kroni dan dinasti. (ADS)***