(Terbit di Harian Kompas, Kamis/ 17 Februari 2022 dan laman adv.kompas.id)
Dampak Covid-19 terhadap daya beli masyarakat berefek pada cash flow universitas. Perolehan dana terganggu seiring dengan kesanggupan mahasiswa membayar dana pendidikan tepat waktu. Sementara sisi pengeluaran, di tengah-tengah tuntutan implementasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka, terdapat tambahan beban biaya belanja IT berupa system PMB, e-learning, hybrid class, dan pengkondisian pematuhan protokol kesehatan.
Fakta demikian menuntut rasionalisasi anggaran belanja dan fokus pada belanja program prioritas utama. Lebih dari itu mendesaknya rekonstruksi pengelolaan perguruan tinggi terutama PTS bergerak menuju sosok entrepreneurial university, yaitu universitas yang menerapkan hasil-hasil penelitiannya untuk kepentingan dunia usaha atau masyarakat luas. Sosok demikian dapat menjawab sindiran kampus menara gading, sekaligus menjadi solutif atas problematika masyarakat dan tersedianya sumber pendapatan diluar mahasiswa.
Pemerintah dalam hal ini Kemdikbudristek mendorong seluruh PT untuk melakukan diversifikasi pendanaan diluar mahasiswa. Bahkan dalam penilaian akreditasi diberi skor maksimal bagi PT yang dapat menggalang sumber perolehan dana selain dari mahasiswa dan kementerian/lembaga minimal 10% terhadap total perolehan dana perguruan tinggi.
Merespon tuntutan ini, perlu dilakukan trasnformasi insitusi berupa hadirnya kelembagaan yang memfasilitasi peningkatan inovasi, hilirisasi dan komersialisasi yang menampilkan produk-produk unggulan penciri universitas yang dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian, tidak cukup dengan keberadaan LPPM dan inkubator bisnis, namun juga perlu adanya Perseroan Terbatas yang memproses komersialisasi.
Menuju komersialisasi tentunya tidak mudah dan perlu waktu panjang. Sejumlah hal penting yang harus disiapkan, pertama invensi berbasis hasil PPKM yang pas dibutuhkan masyarakat. Perlu dibangun budaya meneliti yang responsif terhadap masalah yang dihadapi masyarakat. Proses penelitian dimungkinkan berulang hingga ditemukan produk yang betul-betul siap dikomersilkan. Kedua, pengurusan ijin produksi, ijin edar, analisis pesaing, uji pasar hingga promosi produk. Ketiga, ketersediaan dana untuk menutup biaya produksi dan pemasaran. Secara keseluruhan upaya menuju komersialisasi membutuhkan komitmen termasuk alokasi dana yang cukup besar.
Universitas Islam Bandung tengah merintis bisnis kampus dengan mendirikan sebuah Perseroan Terbatas yang diberi nama PT Uzma Prima Sinergi, bergerak di bidang industri makanan dan olahan masakan, industri farmasi, industry obat tradisional dan bidang perdagangan besar farmasi, obat dan kosmetik, dan perdagangan besar berbagai macam barang. Bidang farmasi digarap merespon invensi penelitian produk farmasi yang sudah mendapatkan penghargaan sebagai TOP 3 Best Halal Innovation di Bidang Akademik pada ajang Indonesia Halal Industry Awards (IHYA) 2021 yang diadakan oleh Kementrian Perindustrian Indonesia.
Bidang industri makanan dan olahan masakan untuk menampung invensi karya kreatif mahasiswa terkait pangan yang sudah diinkubasi di Inkubator Bisnis Halal. Prospek bisnis kedua jenis produk ini sangat baik. Dari sisi produk, pangan dan kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia, dan dari sisi pasar, jumlah mahasiswa dan pegawai beserta keluarganya adalah pasar yang menjanjikan. Tentu dibutuhkan pengelola professional untuk bisa tampil menjadi sumber tambahan pendapatan.
Namun begitu tidak kemudian keberlanjutan pendanaan bersandar kepada komersialisasi. Core business pendidikan tinggi tetap bertumpu pada kepercayaan masyarakat melanjutkan pendidikan di lembaga bereputasi. Artinya branding image perguruan tinggi sebagai tempat menghasilkan lulusan yang berkualitas tetap menjadi pilar utama, yang tidak sekedar menawarkan peningkatan kompetensi pengetahuan dan keterampilan, namun lebih utama adalah kompetensi sikap yakni lulusan yang berakhlak mulia. Unisba selalu menjadi pilihan bijak untuk melanjutkan studi. (Prof. Dr. Atih Rohaeti Dariah, SE., M.Si. Wakil Rektor II Unisba)