(Terbit di Harian Kompas, Kamis/ 28 April 2022 dan laman adv.kompas.id)
Satu Syawal merupakan hari lebaran yang terkadang tidak dilaksanakan seragam oleh umat Islam Indonesia. Ada yang melaksanakan satu hari lebih dahulu daripada ketetapan Pemerintah, seperti pelaksanaan awal Ramadhan 1443 H, dan mungkin juga seragam. Apakah pelaksananaan lebaran 1 Syawal 1443 H. pun akan terjadi perbedaan atau seragam?
Indonesia belum tegas dalam menetapkan jatuhnya awal bulan hijriyah. Melalui sidang isbat, dengan menghadirkan para ahli astronomi dan agama, pemerintah menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Namun ketetapan ini tidak 100% mengikat dan diikuti oleh seluruh elemen masyarakat. Masih ada sebagian masyarakat dan ormas Islam yang menetapkan dan mempublikasikannya kepada masyarakat umum dengan metode dan cara yang diyakininya.
Pemerintah Indonesia menetapkan Rukyat sebagai dasar penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah plus kriteria imkan rukyat (IR) sebagai batas dasarnya. Kriteria ini ditetapkan oleh negara-negara yang tergabung dalam MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yang menetapkan batas minimal hilal dapat dilihat. Terdapat 3 parameter utama dalam kriteria ini, yaitu tinggi hilal minimal 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur bulan minimal 8 jam sejak terjadinya konjungsi. Namun, pada tahun 2022 ini, Pemerintah Indonesia memperbaharui kriteria IR sebagaimana rekomendasi dari negara-negara MABIMS. Perubahan kriteria ini terdapat pada ketinggian hilal yang mengubah dari 2 derajat menjadi 3 derajat, kemudian data elongasi dari 3 derajat menjadi 6,4 derajat.
Terdapat 101 lokasi rukyat awal Ramadhan 1443 H., yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Di Jawa Barat sendiri, terdapat 11 titik pengamatan, salah satunya berada di Observatorium Albiruni Fakultas Syariah Unisba Bandung. Observatorium Albiruni ini berada di Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah yang didalamnya mengkaji astronomi Islam yang terkait dengan pelaksanaan ibadah, seperti kedudukan bulan untuk rukyat hilal Ramadhan. Observatorium ini digunakan karena sudah terpasang teropong yang serba computer dan digital, sehingga untuk menemukan hilal tinggal dipijit remote controlnya, selanjutnya teropong akan bergerak ke posisi hilal berada. Kalua cuacanya cerah maka hilal mungkin akan terlihat di Bandung ini.
Mungkinkah seragam?
Berdasarkan perhitungan dengan akurasi tinggi dengan markaz Observatorium Albiruni, konjungsi antara bulan dan matahari untuk awal Syawal 1443 H. ini terjadi pada Ahad, 1 Mei 2022, Pkl. 02.22 WIB. Konjungsi berarti posisi Bumi, Bulan, dan Matahari berada pada satu garis astronomis, sehingga bulan sama sekali tidak dapat memantulkan sinar matahari sedikitpun. Pada saat matahari terbenam pkl. 17.47 WIB berbarengan dengan terbitnya hilal dengan tinggi +3˚34’25” dan hilal terbenam pkl 18.10 WIB. Di POB Palabuhan Ratu Sukabumi, tinggi hilal +04°19’31”. Azimut hilal 287˚28’53” dan azimuth Matahari 285˚02’01”.
Dari data tersebut, hilal memungkinkan dapat dilihat, karena visibilitasnya sudah memenuhi kriteria batas minimal terlihat. Apabila ada perukyat yang berhasil melihat hilal, maka dapat dipastikan keesokan harinya akan masuk 1 Syawal 1443 H., yaitu hari Senin 2 Mei 2022. Namun, apabila tidak ada satupun yang berhasil melihatnya, maka bulan Ramadhan akan dibulatkan bilangannya menjadi 30 hari. Artinya, kemungkinan
lebaran sama dengan pemegang system hisab sangat mungkin terjadi, karena visibilitas hilal sudah terpenuhi. Namun apabila tidak ada yang berhasil melihat hilal, maka perbedaan pun tidak bisa dihindari. Walaupun demikian, saling menghormati merupakan sikap yang ideal untuk dilaksanakan. (Encep Abdul Roja, SHI., M.Sy., Kepala Observatorium Albiruni Fakultas Syariah Unisba)