GENERASI MUDA RENTAN RADIKALISME DAN TERORISME

 

REKTOR : GENERASI MUDA RENTAN MENJADI SASARAN PENYEBARAN RADIKALISME DAN TERORISME

 

Bandung – Majelis Ulama Indonesia meminta masyarakat Indonesia tidak terjebak dalam konflik radikalisme karena hal itu akan merugikan bangsa ini. Wakil Sekretaris Jenderal MUI Pusat Amirsyah mengatakan, saat ini paham radikal menyeret negara-negara berpenduduk Muslim ke dalam konflik kekerasan. Mereka ingin merekrut sebanyak mungkin anggota terutama dari negara-negara berkembang seperti Indonesia.

“Kekerasan yang dibawa dalam konflik paham radikal itu jangan dilawan lagi dengan kekerasan. Sebagai kalangan akademisi, lawan dengan pena,” katanya di Universitas Islam Bandung, Jalan Tamansari, Rabu (20/5/2015).

Perlawanan dengan tulisan, kata Amirsyah, dapat meredam perkembangan paham ekstrem Indonesia. Apalagi di Indonesia paham ini masih sebatas wacana, sementara strukturnya belum terbentuk.

Dikatakan Amirsyah, paham ekstrem yang digaungi ISIS ini memang berbeda dengan Al-Qaeda. Dalam aliran Al-Qaeda, yang diciptakan sebagai basis adalah konflik. Sementara itu, di ISIS terdapat jaringan infrastruktur dengan banyak ahli yang dimiliki. Selain itu, harakah perlawanan pada ideologi Barat menjadi daya tarik bagi para pengikutnya.

Rektor Unisba Thaufiq Siddiq Boesoirie mengemukakan, pencegahan persebaran paham radikal di kampus tidak perlu dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan tinggi. Upaya pencegahan tersebut justru lebih mengena jika “diintervensikan” pada pemikiran melalui dialog.

Thaufiq mengatakan, pemerintah masih memetakan pergerakan paham ekstrem. Mahasiswa dan generasi muda memang rentan menjadi sasaran penyebaran radikalisme dan terorisme. Namun, masalah radikalisme dan terorisme dijadikan kurikulum khusus tidaklah perlu. Akan tetapi, mereka harus diberi pemahaman yang utuh tentang ajaran yang benar.

Dikatakannya, berdasarkan kajian, munculnya paham radikalisme dan terorisme memang by design dan sengaja diciptakan. Sementara itu, pengikutnya adalah mereka yang memiliki pemahaman yang sama dengan kelompok radikal tersebut.

Thaufiq mengharapkan, pemerintah dapat melakukan screening  yang bisa mencegah seseorang berangkat ke wilayah yang berpotensi menyebarkan paham ekstrem. Namun kendalanya, di Indonesia pemerintah tidak bisa melarang, sebab ada hak perjalanan seseorang untuk bepergian. Hal itu berbeda dengan pemerintah Australia yang dapat mencegah dengan mencabut paspor seorang warga negara yang akan pergi ke negara penyebar paham ekstrem.

Di Indonesia, banyak pemuda yang tergiur ke Suriah semata-mata karena tawaran uang. “Sebagian besar hanya ikut-ikutan. Bahkan banyak yang tidak memahami paham radikal,” ujar Thaufiq

Lebih lanjut Thaufiq mengatakan, berdasarkan pandangan sebagian masyarakat dunia, Islam yang mengajarkan kekerasan. Padahal Islam harus menjadi jalan keluar. Dialog antara perwakilan Barat dan Timur merupakan upaya untuk mencari jalan tengah. “islam menawarkan multikultural,” ucapnya. (Sumber : Pikiran Rakyat, 21 Mei 2015 oleh Dewiyantini)

Press ESC to close