KOMHUMAS-Metaverse memiliki kaitan yang erat dengan Kekayaan Intelektual, misalnya Kekayaan Intelektual yang berhubungan dengan Konten Hak Cipta.
Metaverse inipun akan menghadirkan disrupsi terhadap Kekayaan Intelektual dan Pemegang Kekayaan Intelektual. Namun, sekaligus memberikan peluang penting bagi Kekayaan Intelektual untuk berevolusi dan menjadi kompatibel dengan ekosistem Metaverse.
Dunia metaverse juga membuka peluang munculnya sumber pendapatan pajak yang baru, karena di dalamnya terdapat aktivitas perdagangan.
Islam, sebagai agama yg mengatur seluruh aspek kehidupan, juga mengatur mengenai transaksi/muamalah yg terjadi di metaverse.
Menyikapi hal tersebut, Pusat Pengembangan dan Pelayanan Kekayaan Intelektual (PPPKI) berkolaborasi dengan Pusat Kajian Islam dan Kemasyarakatan (PUSKAJI) di bawah Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Islam Bandung, menyelanggarakan Webinar series Ramadhan bertajuk “Fenomena Metaverse, Perspektif Hukum Kekayaan Intelektual, Hukum Islam dan Hukum Pajak” yang dilaksanakan melalui Zoom Meeting, Rabu (20/04).
Webinar ini diisi oleh narasumber yang pakar dalam bidangnya seperti, Kepala Pusat Studi Cyber Law dan Transformasi Digital Fakultas Hukum Unpad, Dr. Tasya Safiranita Ramli, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Unpad, Amelia Cahyadini, S.H., M.H., dan Dosen Fakultas Syariah Unisba , Panji Adam Agus Putra, S.Sy., M.H.
Tasya Safiranita Ramli menyebutkan, Metaverse menghadirkan disrupsi dan tantangan bagi kekayaan intelektual. Selain itu, dapat memberikan peluang penting bagi Kekayaan Intelektual untuk berevolusi dan menjadi kompatibel dengan ekosistem metaverse.
“Secara umum, hubungan metaverse dengan rezim kekayaan intelektual, terdapat dalam beberapa hal, yaitu, Hak Cipta, Rahasia Dagang, Merek, dan Paten,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, ada beberapa keuntungan dari metaverse, yaitu memberikan cara berkomunikasi digital dengan aspek baru (tampilan yang lebih kompleks), meningkatkan fungsi paltform media sosial, pengaplikasian dalam bisnis, dan dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Panji Adam menjelaskan, Cryptocurrency atau uang digital yang digunakan di metaverse, tidak termasuk ke dalam mata uang, karena tidak disepakati semua masyarakat dan banyak negara yang menolak penggunaan bitcoin.
“Mereka menolak pengunaannya; tidak memiliki nilai intrinsic; berkembang mengikuti tren, bahkan memungkinkan bagi siapapun untuk membuat sendiri mata uang yang lain dengan script yang berbeda; sangat labil, sehingga tidak memiliki nilai ketahanan sama sekali; sangat rentan untuk hilang nilai,” katanya.
Panji menuturkan, sedangkan dalam Islam, setiap transaksi harus terlepas dari unsur maysir (perjudian/spekulatif), Gharar (ketidakjelasan) dan Riba.
Dijelankannya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan sebuah fatwa mengenai Cryptocurrency secara resmi dikeluarkan saat Forum Ijtima Ulama se-Indonesia ke-VII pada 11 Novermber 2020. Menurut MUI, Penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang hukumnya haram, karena mengandung gharar, dharar dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17 tahun 2015.
Amelia Cahyadini menyampaikan, saat ini banyak bermunculan entitas baru (Platform Digital, Over The Top, dan sebagainya), mata uang digital atau virtual (Kripto), aset digital (NFT), bahkan “lingkungan” baru (Metaverse).
Ekonomi digital Indonesia pada 2021 kata Amelia, sudah mencapai US$ 70 miliyar dan diprediksi akan mencapai US$ 146 miliyar pada 2025. Kemajuan tersebut diikuti dengan perkembangan yang sama di bidang Hukum, salah satunya dalam hukum pajak. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 sebagai awal pengaturan di bidang Hukum Pajak yang memperluas basis pajak. Salah satunya perpajakan bagi layanan digital dan dalam lingkungan metaverse.
Sementara itu, Sekretaris LPPM UNISBA, Titik Respati, mengatakan, dunia Metaverse sudah ada di depan mata, sehingga perlu dikaji dari berbagai segi, terutama dari kekayaan intelektual, hukum pajak dan khususnya Hukum Islam.
Karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam kata Titik, maka diperlukan semacam fatwa terkait dengan aktifitas di Dunia Metaverse dan Perdagangan yang terjadi di sana. Hukum Islam sebagai Hukum yang komperhensif, mengatur segala aspek kehidupan, selalu mengikuti perkembangan zaman, termasuk dalam hal yang terkait dengan teknologi.
Harapan besar juga kepada Kementrian Komunikasi dan Informasi agar selalu memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait dunia metaverse dan transaksi yang terjadi di dalamnya, juga harus menyiapkan sarana dan pra sarana dalam dunia digital untuk mendukung berbagai kegiatan yang terjadi di dunia digital.***