Encep Abdul Rojak, Ketua Prodi Ahwal Al-Syakhshiyah Fakultas Syariah Unisba
dan dikonsep oleh Tuhan pemilik jagat raya ini, yang mengharuskan pemeluknya untuk memperhatikan dua konsep utama dalam menjalankan kehidupannya. Konsep pertama yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang dikenal dengan istilah hubungan vertical. Hubungan ini sangat kental dengan nilai-nilai ketaatan yang akan berbuah ibadah dan pahala yang tidak terbatas. Konsep yang kedua yaitu hubungan antara manusia dengan sesamanya atau lingkungannya yang dikenal dengan istilah hubungan horizontal. Walaupun bentuknya (seperti) bukan ibadah, namun banyak orang yang celaka karena tidak baik secara horizontal. Karena itu hubungan ini harus diisi dengan nilai ibadah, sehingga konsep Ihsan dapat diimplementasikan dalam kehidupan yang nyata.
Dalam menjalankan aktifitas sehari-harinya, muslim harus memperhatikan kewajiban yang melekat untuk patuh kepada Rabbnya. Kepatuhan ini disebut juga dengan ketaatan yang mengandung nilai yang baik sehingga laik mendapatkan apresiasi dan penghargaan dari Allah swt dalam bentuk pahala. Menjalankan kewajiban shalat wajib 5 waktu, puasa Ramadhan, mengeluarkan zakat, dan berbagai bentuk ibadah wajib lainnya tidak terlepas dari pahala yang sudah dijanjikan. Termasuk ketaatan dalam bentuk melaksanakan kesunnahan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw pun menjadi penyempurna ibadah dan pahala yang banyak, karena Allah swt tidak pernah ingkar janji – QS Ali Imran:194.
Namun ketaatan masih satu sisi saja belum sempurna, karena ada orang yang dinyatakan masuk neraka karena memelihara seekor kucing tanpa diberi makan sehingga mati (HR Imam Bukhori dari Ibnu Umar), juga ada orang yang bangkrut di akhirat, yaitu amal-amal solehnya hangus diberikan kepada orang lain karena ia pernah didzoliminya (HR Imam Muslim dari Abu Hurairoh), dan alqur’an sudah mengingatkan bahwa laknat Allah diberikan kepada orang-orang yang dzalim – QS Hud:18. Hal ini menunjukkan bahwa, dimensi ketaatan seorang muslim tidak hanya secara vertical saja. Namun harus dibarengi juga dengan dimensi ibadah secara horizontal. Berbuat baik kepada sesama, saling menghormati dan menghargai para pengguna jalan raya lainnya, dan mencegah berbuat dzalim termasuk ketaatan kepada Allah swt. Bahkan Rasul saw mengajarkan kepada kita untuk menolong orang yang dzolim dan didzolimi. Sahabat yang mendengar perintah ini pun menimpali dan bertanya bagaimana cara menolong orang yang dzolim, karena menolong orang yang didzolimi itu sudah biasa dan mudah, tapi kalau yang dzolim ditolong itu seperti apa caranya. Lantas Rasul menjelaskan bahwa menolong orang yang dzolim dengan cara mencegahnya (HR Bukhari dan Muslim dari Anas r.a)
Dalam konteks Islam, tidak ada satu makhluk hidup pun di alam ini kecuali diciptakan Allah swt. dan dijamin rejekinya, terlebih pada penciptaan manusia yang dijelaskan dalam berbagai fasenya. Proses penciptaan mulai dari nutfah, kemudian menjadi ‘alaqoh, kemudian menjadi mudhgah, dan seterusnya sampai menjadi manusia yang seutuhnya – QS Al-mu’minun: 14. Artinya bentuk manusia dan segala yang ada pada setiap diri manusia itu merupakan hadiah dari Allah swt. Manusia tidak bisa meminta dan memilih kepada Allah swt bentuk dan warna kulitnya, bentuk tubuhnya, orang tua yang melahirkannya, dan aspek lainnya kecuali sudah Allah swt tetapkan. Karena itu, Allah menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna – QS At-tin: 4.
Sebuah ajaran Islam yang sudah dikenal dikhalayak Muslim menyebutkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya. Setelah dicari dalam kitab-katib hadits ternyata tidak ditemukan, baik dalam kitab sohih ataupun musnad. Namun dapat ditemukan dalam kitab At-taisir bisyarh al-jami’ al-shogir karya Zainuddin Muhammad cetakan ke-3 tahun 1408 H. Ia menjelaskan bahwa memberikan manfaat kepada orang lain bisa dengan berbagai cara, diantaranya berbuat baik dengan harta yang dimiliki, dengan ilmu yang dikuasai, dan berbagai hal positif lainnya, karena sejatinya setiap manusia hakikatnya makhluk Allah yang harus dihormati.
Allah swt melalui firmanNya sudah menegaskan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam – QS Al-anbiya: 107. Makhluk Allah yang tersebar didunia ini tidak terbatas kepada satu jenis saja, satu suku dan budaya saja, namun sangat berragam dan beraneka budaya. Indonesia sendiri memiliki lebih dari 1.340 suku bangsa yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Dengan keragaman ini, berdampak juga pada keragaman kepercayaan dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Dan Islam sudah mengajarkan dari awal bahwa tidak ada paksaan bagi siapapun untuk menjadi Muslim – QS Al-baqarah: 256. Artinya setiap orang sudah Allah tunjukkan jalan hidupnya – QS Al-balad: 10. Namun demikian, nilai-nilai kemanusiaan yang mulia melekat bagi setiap manusia itu sendiri. Setiap manusia memiliki hak yang sama untuk hidup, untuk bersosial, untuk berkarya, untuk berusaha, dan segala aktifitas lainnya yang bermanfaat.
Rasulullah Saw sering diberikan pesan oleh Malaikat Jibril untuk berbuat baik kepada tetangganya, bahkan Rasul mengira bahwa tetangga akan ditetapkan menjadi ahli waris (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.). Pesan berbuat baik kepada sesama, kepada tetangga, saudara dan lainnya, terlebih berbuat baik kepada Ibu-Bapak sudah dipesankan oleh Allah swt dalam alqur’an – QS An-nisa: 36. Bahkan Allah swt menegaskan dalam penutup ayat tersebut bahwa Ia tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Kedua sifat buruk ini identik dengan merendahkan sesama manusia padahal mereka memiliki hak yang sama.
Ketika ada orang yang terkena kesulitan, musibah, dll, walapun memiliki keyakinan yang berbeda maka patut menjadi perhatian bagi setiap muslim untuk membantunya. Karena setiap rupiah yang dikeluarkan, setiap makanan yang disedekahkan, setiap fikiran dan tenaga yang dicurahkan, akan mendapatkan balasan yang terbaik dari apa yang dia usahakan. Walaupun amal baik itu seberat biji sawi, maka ia akan mendapati balasannya – QS al-zalzalah: 7-8. (Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Jumat (23/12/2022))