KOMINPRO – Transparency International (TI), menyebutkan Indonesia berada di peringkat 96 (dari 180 negara di dunia) pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2018. Skor yang diperoleh Indonesia dalam daftar indeks tersebut adalah 38 dari skala 100. Meskipun mengalami kenaikan skor satu poin dari tahun sebelumnya, IPK negara Indonesia rupanya masih tertinggal jauh jika dibandingkan Singapore yang mencapai skor 85 poin.
Demikian diungkapkan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang, MM., Ph. D, saat menjadi narasumber dalam kegiatan Seminar Anti Korupsi yang diselenggarakan, di Aula Pasca sarjana Unisba, Selasa (25/4). Saut mengungkapkan, nilai IPK Indonesia setiap tahun cenderung mengalami kenaikan, meskipun pergerakannya lambat.
“Dari skala 1-100 Indonesia hanya mendapatkan 38 poin. Angka ini didapatkan dari berbagai penilaian layanan publik seperti Polri, TNI, Pegawai Negeri, Gubernur, Walikota, dan berbagai aspek lainnya,” ujarnya.
Perbaikan sejumlah parameter itu tak hanya menjadi tugas KPK saja, tapi juga seluruh pemangku kepentingan di Indonesia. Menurut Saut, dalam pelaksanaan tugasnya, KPK sangat membutuhkan kerja sama dan bantuan dari berbagai pihak. Kolaborasi KPK bersama akademisi dan Perguruan Tinggi menjadi salah satu upaya dalam pemberantasan korupsi.
“Pertama harus digaris bawahi atas perintah Undang-undang KPK harus masuk ke segala jenjang pendidikan. Program yang berkenaan dengan tridharma perguruan tinggi selama ini sudah dilakukan hanya perlu ditingkatkan lagi. Kedepan saya berharap, Kemendikbud atau Kemenrisetdikti bisa memasukan mata kuliah pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum,”ujarnya.
Hal senada diungkapkan Rektor Unisba, Prof. Dr. H. Edi Setiadi, SH., MH. Dengan diterapkannya mata kuliah pendidikan anti korupsi kata Rektor, dapat menjadi salah salah satu strategi dalam meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi sedini mungkin.
“Mata kuliah anti korupsi harus menjadi kurikulum nasional sama dengan pancasila dan bahasa agar menjadi kuat dan ditaati oleh perguruan tinggi. Jika melihat fenomena korupsi dan dimensi korbannya yaitu negara, maka ini bukan urgent lagi tapi harus ada penanganan cepat untuk mendidik masyarakat supaya tertib,”jelasnya.
Prof. Edi mengatakan, seyogyanya perguruan tinggi bukan hanya bertugas untuk menghasilkan lulusan yang berkompeten, tetapi juga sebagai penjaga dan kekuatan moral. Oleh karena itu dengan diterapkannya peraturan tersebut, diharapkan dapat melahirkan agent of change yang anti terhadap segala sesuatu yang berbau korupsi, baik dalam pengertian sosiologis, kriminologis dan yuridis. Feari/Wiwit