Mahasiswa Jangan Apatis dan Buta Politik
KOMINPRO-Jumlah pemilih muda di Jawa Barat yang mencapai angka 28,9 persen dari 31,7 juta jumlah pemilih tetap pada pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Barat 2018 mendatang memiliki makna strategis dan dapat dipastikan akan menjadi garapan utama setiap kandidat. Oleh karena itu, kelompok pemilih muda ini harus memiliki sikap kritis dan cerdas dalam menyalurkah hak pilihnya sehingga berdampak pada konilidasi demokrasi lebih baik bagi Jawa Barat.
DEmikian benang merah gelar wicara politik sebagai bagian dari kegiatan “Electainment on Campus Rock The Vote Indonesia : Meningkatkan Partisipasi Pemilih Muda dalam Pilgub Jabar 2018” di Aula Utama Kampus Universitas Islam Bandung (Unisba), Jalan Tamansari Kota Bandung, Rabu (16/05/2018). Diskusi menghadirkan pembicara Septiawan Santana Kurnia (Unisba), Endun Abdul Haq (KPU Jabar), Erwin Kusstiman (Harian Pikiran Rakyat) dan Hasbi Rofiqi (CEPP Universitas Indonesia). Kegiatan dibuka Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Massyarakat (LPPM) Unisba Atie Rachmiatie.
“Pemilih muda ini menjadi rebutan karena ssuaranya sangat menetukan. Apalagi jumlah pemilih di Jawa Barat merupakan yang tertinggi di Indonesia,” kata Endun Abdul Haq.
Menurut dia, generasi milenial terbagi dua, yakni generasi milenial muda yang lahir tahun 1990 hingga sekarang dan generasi milenial tua yang lahir tahun 1980-an hingga 1990-an. Salah satu ciri generasi milenial muda, kata dia, adalah kritis namun masih dalam prosess pencarian jati diri. “Oleh karena itu perlu transformasi informasi, khususnya terkait kepemiluan agar mereka bisa menentukan pilihan dan menggunakan hak pilih dengan baik,” katanya.
Endun berharap, para mahassiwa bisa menyebarluaskan kembali informasi yang diperoleh, baik kepada teman sejawat, organisassi, keluarga dan tetangga.
Kritis
Sementara itu, Erwin Kustiman, memaparkan ada dua tipe apatisme politik dalam menghadapi momen suksesi kepemimpinan politik. Pertama, apatis karena memang tidak terpapar infomasi memadai. Kedua, justru apatis karena muak terhadap situasi perpolitikan Indonesia yang diwarnai praktik korupsi, perempuan dan intrik.
“Di sisi lain karakter pemilih pemula yang rata – rata yang berusia remaja cenderung anti kemapanan atau status quo. Mereka akhirnya sama sekali menarik diri dari politik,” ujarya.
Padahal, menurut dia, politik sangat erat terkait dengan kehidupan keseharian setiap warga negara. “Disnilah seharusnya sikap kritis juga disertai dengan kecerdasan bersikap. Pemilih muda yang cenderung independen, mandiri tidak mau disetir sehingga jauh dari praktik money politic harus mampu menentukan arah politik ke depan lewat penyaluran hak pilihnya,” katanya menguraikan.
Septiawan Santana menegaskan, kampus memang harus steril dari kegiatan politik praktis. “Namun, bukan berarti mahasiswa tidak tahu politik, justru haruss paham. Kegiatan ini diharapkan memberikan muatans pendidikn politik bagi mahasiswa sebagai generasi muda untuk lebih berdaya dan paham politik,” katanya. (Sumber : Pikiran Rakyat, 17 Mei 2018)