(Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Rabu/01 Agustus 2022)
Dalam konteks penegakan hukum, kasus (pidana) itu ada yang rumit, njelimet dan kompleks, dan ada yang sederhana dan mudah diurai hingga ditemukan kerangka bahkan detail utuhnya. Namun rupanya cepat atau lambatnya penuntasan kasus bukan tergantung rumit atau simpelnya si kasus itu sendiri. Jika ada faktor lain-lain yang mengontaminasi, maka kasus yang ditangani bisa saja molor, atau yang terang bisa menjadi samar-samar.
Dalam kasus polisi tembak polisi di rumah polisi dan ditangani langsung oleh polisi, warga masyarakat dan warganet disuguhi episode demi episode informasi (resmi kepolisian) yang semula sulit ditebak, karena kaburnya informasi yang disampaikan dan potongan-potongan logika yang jauh dari lengkap dan detail sehingga tidak mudah dirangkai menjadi peristiwa yang logis. Ditambah dengan adanya konfrontasi informasi yang berlanjut pada perlawanan hukum dari pihak keluarga korban tembak mengenai fakta-fakta yang tidak diungkapkan kepolisian. Sontak saja hal ini mengundang perhatian besar. Umumnya warganet mulai menduga-duga: di balik keterangan pihak kepolisian ada hidden agenda atau skenario tertentu dalam kasus tersebut.
Sekiranya pada Kamis 21 Juli 2022 Presiden Jokowi tidak menginstruksikan dengan keras dan tegas untuk mengusut tuntas, membuka apa adanya secara transparan dan tidak ada yang ditutup-tutupi, apakah kepolisian akan mengalami kemajuan yang cukup berarti sebagaimana tampak pada perkembangan beberapa hari terakhir ini? Mestinya tanpa adanya perintah presiden pun kepolisian harus mampu mengungkap kasus ini lebih segera, karena – sebagaimana disebut oleh mantan Kabareskrim Komjenpol (purn) Susno Duaji, kasus ini sebenarnya sangat gamblang karena korbannya jelas dan yang ditersangkakan juga jelas, tinggal mengelaborasi dan mengembangkannya dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Bahkan kasus ini didukung oleh cukup banyak alat bukti berupa CCTV dan saksi pula. Sayangnya karena “faktor lain-lain” di tubuh internal kepolisian yang menangani kasusnya, menjadikan dalam sebulan ini penanganan lambat dan tidak jelas, dan berujung pada Kapolri memutasi sejumlah perwira dan memerintahkan pemerosesan dua puluh lima personel kepolisian yang dinilai tidak professional. Penerapan prosedur olah TKP, “hilangnya/rusaknya” CCTV, dan “disinformasi” kepada publik konon menjadi indikasi pemicunya.
“Faktor lain-lain” dalam kasus ini dapat dikonfrontasikan dengan motto kepolisian yaitu promoter, yang diluncurkan pada era Kapolri Jenderal H.M. Tito Karnavian. Promoter adalah singkatan dari Profesional, Modern, dan Terpercaya yang menunjukkan itikad kuat kepolisian melakukan revolusi mental dalam rangka strive for excellence. Profesionalitas (kinerja) kepolisian dicapai melalui peningkatkan kompetensi dan kualitas sumber daya manusia melalui kapasitasi berupa pendidikan dan pelatihan, serta penguatan pola pemolisian berdasarkan prosedur baku yang mudah dipahami, dilaksanakan, dan terukur keberhasilannya. Sedangkan “modern” yaitu modernisasi pelayanan publik dengan memanfaatkan teknologi mudah dan cepat akses. Adapun “terpercaya” yaitu mewujudkan reformasi internal agar tercipta kepolisian yang bersih, berwibawa, dan bebas korupsi sehingga bisa menegakkan hukum yang berkeadilan secara obyektif, transparan, dan akuntabel.
Dalam penanganan sejumlah kasus, kepolisian kerap menyebut istilah scientific crime investigation (SCI). Ekspektasi masyarakat tentunya adalah dengan menggunakan SCI yang memanfaatkan sebanyak mungkin ilmu pengetahuan, sains dan teknologi, kepolisian akan lebih mudah menyelidiki dan menyidik suatu tindak kriminal. Adanya CCTV dan proses forensik akan sangat membantu kerja polisi mengungkap kejadian yang sebenarnya karena puzzle peristiwa akan lebih empirik, terstandar, terdeteksi, terukur, terkonstruksi dengan jelas. Namun faktor lain-lain (a.l.human error) mengaburkan peran SCI yang seharusnya menjadikan kepolisian bekerja professional dan modern.
Sebuah channel youtube, disamping getol melakukan update perkembangan investigasi kasus polisi tembak polisi ini jam per-jam, juga melakukan jajak pendapat tentang tingkat kepercayaan warganet terhadap institusi kepolisian. Hasilnya cukup menyentak, di kisaran 90%-an dari tigapuluhan ribu warganet menyatakan tidak percaya atas keterangan polisi dalam kasus ini. Demikian juga pendapat warganet terhadap komisi HAM yang terlibat dalam investigasi. Sebuah tamparan yang harus menjadi bahan introspeksi terus menerus bagi satuan bhayangkara negeri ini.
Akhirnya, belakangan titik terang kasus ini mulai tersingkap sedikit demi sedikit. Setelah perintah presiden, mungkin juga karena berbagai stressor publik yang tidak menghendaki kepolisian mempertaruhkan marwah institusi. Juga setelah pengacara Bharada E menyatakan kliennya bersedia menjadi justice collaborator, informasi-informasi baru memperterang posisi puzzle peristiwa dan mulai menjawab sebagian pertanyaan apa, siapa dan bagaimana.
Justice collaborator adalah orang yang ditersangkakan sebagai pelaku tindak pidana namun menyatakan bersedia bekerja sama untuk menjadi saksi secara substansial dalam penyelidikan atau penuntutan tindak pidana yang disangkakan kepadanya karena ada pihak lain yang dianggap terlibat. Semoga tersangka pelaku yang mau menjadi justice collaborator ini disebabkan dorongan hati nurani dan suara Tuhan masih bersemayam dalam dirinya, karena inilah yang sejatinya harus terhunjam dalam pada setiap penegak hukum. Hal itulah yang menjadikan seorang aparat memiliki integritas nilai, satu padu antara jiwanya, pernyataan dan kinerjanya. Tanpa itu promoter kepolisian hanyalah motto saja. Semoga masyarakat tidak disuguhi anti klimaks penegakan hukum.***