(Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Senin/08 Agustus 2022)
Dalam satu bulan ini masyarakat disuguhi pemberitaan kasus polisi tembak polisi dengan segala melodramanya. Sebuah kasus yang sering dikatakan orang sebagai kasus biasa, simple dan sederhana, akan tetapi unsur drakor yang menyertainya menjadikan kasus ini seperti kasus yang besar, malah dapat dikatakan sebagai kasus yang mendapat perhatian masyarakat layaknya kasus mega korupsi yang dilakukan oleh pejabat tinggi negara (extra ordinary crime).
Perjalanan pengungkapan kasus dan membuat terangnya kasus ini seolah-olah mendapat jalan buntu dan memperlihatkan kegamangan dari aparat penegak hukum yang biasanya gesit dan trengginas dalam mengungkap kasus pidana seperti pembunuhan ini. Penyidik seolah-olah membentur tembok dan agak sulit serta memakan waktu lama menentukan barang bukti dan tersangkanya. Penegakan hukum seolah-olah berada pada persimpangan jalan.
Sesungguhnya penegakan hukum adalah bagaimana hukum ditegakan melalui alat-alat kekuasaan negara sehingga suatu kasus menjadi terang dan masyarakat menjadi puas atau melihat bahwa hukum benar-benar ditegakan. Penegakan hukum adalah bagaimana negara merespon dan menegakan hukum ketika ada pelanggaran yang terjadi di masyarakat.
Terlepas dari adanya rivalitas dan unsur politis dari kasus tembak menembak antara polisi ini, yang harus mendapat catatan adalah bahwa kasus ini sudah menjadi konsumsi publik dengan segala pendapatnya. Dari tinjauan optic hukum, penghuni rumah yang tidak segera melaporkan telah terjadi suatu tindak pidana (terlepas apakah terbunuhnya brigadier J ) nantinya merupakan tindak pidana atau bukan, maka siapapun yang mengetahui adanya sutu tindak pidana dan tidak segera melapor maka kepada orang tersebut dapat dikatakan telah melakukan suatu tindak pidana yang masuk dalam 0misi delic, yaitu delik yang terjadi karena orang telah melanggar keharusan-keharusan menurut undang-undang, dan apa yang disebut dengan delicta commisionis per ommisionem atau delik-delik yang terjadi karena orang telah melanggar larangan-larangan dalam undang-undang dengan cara tidak mentaati keharusan-keharusan sebagaimana telah ditentukan undang-undang.
Perbuatan tidak melapor bahwa telah terjadi suatu perbuatan yang diduga merupakan tindak pidana, serta penghilangan barang bukti untuk membantu terangnya suatu perkara, adalah pelanggaran terhadap apa yang seharusnya mesti dilakukan apabila menyangkut suatu kejahatan. Tindakan timsus yang memeriksa 25 orang personil polisi dan dikatakan sebagai pro justitita harus kita dukung, biasakan kita mencermati dan mengawal suatu kasus yang mendapat perhatian publik tapi bukan melakukan intervensi, apalagi berprasangka tanpa melihat, menyelidiki dan melakukan pembuktian yang ilmiah (scientific investigation). Kewajiban masyarakat adalah sekedar membantu mengawasi bahwa proses penegakan hukum dalam kasus ini berjalan dengan baik dan sesuai dengan rule of the game.
Proses Penegakan Hukum.
Proses penegakan hukum haruslah menjunjung tinggi prinsip keadilan (interest of justice), goal dari penegakan hukum adalah terciptanya keadilan bagi semua pihak, untuk pelaku, korban dan keluarga korban serta masyarakat atau negara. Penegakan hukuim harus dapat menciptakan keadilan untuk semua (justice for all), penegakan hukum harus dapat melahirkan kebahagiaan untuk masyarakat banyak (the great happinies for the great people), dengan demikian akan tercipta lagi harmoni dalam masyarakat yang telah terkoyak dengan telah terjadinya pelanggaran hukum.
Apabila kita cermati jalannya penanganan kasus tembak menembak antar polisi ini, memang menyebabkan haru birunya perasaan masyarakat. Antara terkoyaknya perasaan keadilan masyarakat karena terlihat seolah-olah polisi membentur benteng yang kokoh sehingga dipertanyakan prinsip persamaan di depan hukum, betulkah hukum hanya tajam kepada kala ngan alit tetapi tumpul apabila menghadapi golongan elit. Ini semua harus dijawab oleh kepolisian. Akan tetapi masyarakat pun harus mengerti bahwa mekanisme penegakan hukum tentu saja harus sesuai dengan prinsip-prinsip yanag selama ini menjadi landasannya yaitu KUHAP dan peraturan internal di Kepolisian
Masyarakat tentu berharap bahwa prinsip penegakan hukum yaitu due process of law (proses hukum yang baik) harus betul-betul dijalankan oleh kepolisian. Tindakan yang mencederai keadilan, kepatutan dan menghina akal sehat harus dibuang jauh-jauh, Penjelasan berupa konperensi press yang tidak masuk akal dan apalagi tidak sinkron satu sama lain hanya akan menyebabkan proses penegakan hukum tidak akan berjalan dengan baik. Untung Kapolri bertindak meluruskan dan bersikap transparan sehingga harapan masyarakat bahwa kasus ini akan selesai dengan baik dapat terwujud.
Dalam proses penegakan hukum, tidak hanya sekedar bagaimana hukum itu ditegakan melalui alat-alat negara saja, akan tetapi di dalamnya terkandung etika yang harus dijunjung tinggi, di atas norma itu terdapat nilai etik yang kedudukannya lebih tinggi dari norma hukum. Ketika kita terbentur oleh tiadanya suatu norma hukum dalam menyelesaikan suatu kasus, maka pada ahirnya kita harus melihat nilai etik. Nilai etik ini harus melandasi setiap gerak penegak hukum dalam menyelesaikan suatu kasus, dari mulai penyelidikan, penyidikan sampai menyerahkan perkara ini ke Lembaga penuntutan yaitu kejaksaan.
Dalam system hukum kita yang selalu mengagung-agungkan positivisme, maka nilai etik ini selalu luput dari perhatian. Kita selalu berdalih bahwa based on law akan menjamin kepastian hukum dan keadilan, tetapi kita lupa juga bahwa esensi berhukum kita haruslah mengandung nilai etik, hukum yang baikpun apabila tidak dilandasi nilai etik maka hasil nya akan menyimpang jauh dari keadilan. Akan tetapi dengan hukum yang buruk apabila para penegak hukum nya menjunjung tinggi nilai-nilai etik dalam berhukum maka hasilnya akan memenuhi harapan masyarakat. Proses penegakan hukum haruslah responsive terhadap kebutuhan masyarakat.