(Terbit di Harian Kompas, Kamis/ 25 Mei 2022 dan laman adv.kompas.id)
Trend industri halal menjadi perbincangan hangat di dunia bisnis internasional saat ini produk halal mencapai $254 Miliar . Mendongkrak 1-3% GDP (Gross Domestic Product) negara anggota Organisasi Konferensi Islam (Dinar Standard 2019).
World Halal Conference 2018 di Kuala Lumpur menyatakan halal telah menjadi ekosistem. Selain sebagai industri, produk halal telah menjadi bagian bisnis dunia yang sangat besar dan menjanjikan. Produk halal bukan hanya untuk umat Islam tetapi juga nonmuslim di negara-negara Islam (islamic countries) maupun negara-negara “sekuler” (minoritas muslim).
Islam sebagai suatu syariat yang dibawa oleh Rasul terakhir memiliki sifat yang komprehensif dan universal. Komprehensif artinya mengatur seluruh aspek kehidupan manusia baik ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Universal artinya dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat. Kesadaran umat Islam terhadap halal (halal awareness) dan halal lifestyle merupakan salah satu implementasi syariat Islam.
Asia Pasifik sebagai kawasan terbesar populasi Muslim dunia, menjadi pasar potensial produk halal. Tak terkecuali di negara-negara minoritas Muslim. Thailand telah mendeklarasikan sebagai pusat pangan halal dan menempakan diri sebagai buffer zone makanan halal dunia. Malaysia meneguhkan sebagai destinasi halal dengan memperkenalkan lembaga riset dan pelatihan halal melalui universitas. Salah satunya adalah INHART (International Institute for Halal Research and Training) IIUM (International Islamic University Malaysia).
Jepang sangat aktif mendorong industri ekspor halal seperti obat-obatan, kosmetika, makanan dan minuman ke mancanegara. Korea Selatan sedang membangun destinasi wisata halal (halal tourism). Eropa menjadi peluang produk halal yang menjanjikan. Permintaan produk halal di pasar Eropa meningkat rerata 15 persen per tahun. Di Perancis, daging halal mempunyai permintaan tertinggi di antara makanan halal lainnya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Ekosistem halal di Indonesia terus mengalami eskalasi dan tren yang menjanjikan. Untuk memperkuat ekosistem halal, Indonesia telah menetapkan 10 sektor yang secara ekonomi dan bisnis berkontribusi besar dalam industri halal. Sepuluh sektor tersebut, yaitu industri makanan, wisata dan perjalanan, pakaian dan fesyen, kosmetik, finansial, farmasi, media, kesehatan, pendidikan, dan seni budaya.
Beberapa faktor yang mendukung ekosistem halal di Indonesia. Pertama, dukungan regulasi. Sejak 2014, pemerintah telah menerbitkan regulasi yang mengatur produk halal dan industri halal. Peraturan tersebut, yaitu Undang-Undang No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). UU ini diikuti dengan peraturan pelaksanannnya, yaitu Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Agama tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal dan Keputusan Menteri Agama tentang Layanan Sertifikasi Halal. Kedua, pertumbuhan perbankan
syariah pada Juli 2018 mencapai 14,6 persen year on year/yoy) Sementara pertumbuhan bank-bank konvensional pada periode yang sama hanya 8,9 persen. Ketiga, kesadaran masyarakat Indonesia terhadap halal (halal awareness). Tumbuhnya halal lifestyle di kalangan anak muda dan perkotaan menjadi peluang baru pertumbuhan perbankan syariah dan industri halal. Dampak ikutannya (nurturant effect) adalah peluang pengembangan ekosistem halal di Indonesia makin baik dan variatif. Antara lain halal food, islamic fashion, islamic tourism, islamic education, haji dan umrah, zakat, sedekah hingga wakaf (islamic philanthropy).
Tantangan dan Kendala
Menurut Global Islamic Economy Report 2019/2020, Indonesia menempati posisi ke 5 dalam perkembangan industri halal. Sangat kontras bagi Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki populasi muslim terbesar. Hal ini menjadi tantangan dalam mengembangkan kualitas dan kuantitas industri halal.
Kendala dalam pengembangan ekosistem halal ; Pertama, kebijakan Jaminan Produk Halal (JPH), sertifikasi dan standarisasi produk halal dan belum ada roadmap pengembangan industri halal. Kedua, sumber daya manusia, masih banyak yang belum memperhatikan produk halal. Kurang pengetahuan produk halal pada pelaku usaha kecil. Ketiga, kurangnya infrastruktur yang memadai. Belum berjalan koordinasi antar lembaga yang menangani infrastruktur. Keempat, informasi, sosialisasi, dan edukasi halal awareness. Kelima produksi, antara lain terbatasnya bahan mentah yang sudah memenuhi kriteria halal yang bergantung pada impor.
Kolaborasi dan Inovasi untuk Eskalasi Ekosistem Halal
Eskalasi ekosistem halal memerlukan dukungan berbagai pihak. LPPM Unisba melalui penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (PPkM) berkontribusi dalam eskalasi ekosistem halal Indonesia untuk meningkatkan posisi Indonesia dalam ekosistem halal inetrnasional. PPkM dilaksanakan oleh para dosen dan pakar dari berbagai disiplin ilmu yang tersebar di sepuluh fakultas dan 30 prodi di Unisba. Sinergi dan kolaborasi dilakukan dengan perguruan tinggi, pemeritah, DUDI (dunia usaha dan dunia industri) dalam dan luar negeri. Hal ini sebagai ikhtiar bersungguh-sungguh (mujahid), mencurahkan segenap kemampuan dan pemikiran (mujtahid), menghasilkan inovasi yang bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat (mujaddid). (Neni Sri Imaniyati, Ketua LPPM Unisba)