(Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Kamis/07 April 2022)
Proses pengadilan terhadap terdakwa Hery Heryawan dalam kasus perkosaan terhadap belasan santrinya memasuki babak baru. Setelah di vonis hukuman seumur hidup oleh pengadilan negeri, kini yang bersangkutan dijatuhi hukuman mati oleh hakim pengadilan tinggi sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum. Dan seperti biasanya terjadi pro kontra terhadap putusan pengadilan ini yang sebenarnya semua orang tidak boleh mencampuri proses peradilan, baik dengan opini, komentar apalagi intervensi dan intimidasi.
Penulis sendiri pernah mengulas tentang stelsel hukuman mati ini dalam artikel berjudul Menyoal Hukuman Mati yang dimuat di koran Pikiran Rakyat tanggal 7 November 2007, dan ternyata dalam kurun waktu 15 tahun diskursus ini terus berlanjut sampai sekarang. Persoalan hukuman mati masih merupakan suatu dilema dalam system hukum pidana kita.
Apabila memperhatikan bunyi pasal 10 KUHP dan beberapa perundang-undangan pidana lainnya di luar KUHP masih terlihat bahwa stelsel hukuman masih menganut hukuman pokok, dan hukuman tambahan. Dalam hukuman pokok masih tercantum hukuman mati, di samping hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda. Karena hukuman mati masih tercantum secara tegas dalam KUHP kita, maka hukuman mati masih merupakan kewajiban bagi hakim untuk menjatuhkannya apabila diminta oleh jaksa dan berdasarkan pertimbangan subjektif dan objektif diri hakim hukuman mati tersebut patut dijatuhkan kepada terdakwa.
Hukuman mati dapat dikatakan sebagai salah satu jenis hukuman yang masih menjadi kontroversial karena dalam pelaksanaan hukuman mati atau eksekinya menutup terdakwa untuk memperbaiki diri atau memperbaiki putusan hakim apabila penjatuhan hukuman mati terdapat kekeliruan dalam penerapan hukum (eror iuris) bahkan salah mengenai orangnya (eror in persona), padahal eksekusi hukuman maati telah dilaksanakan. Karena berbagai pertimbangan ini maka beberapa negara (lebih kurang 140 negara) telah menghapus hukuman mati dengan dasar pertimbangan bahwa hukuman mati tidak memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki diri, di samping pertimbangaan tadi yang telah disebutkan.
Secara sederhana dan ini pendapat lama, hukuman mati masih diperlukan untuk melenyapkan individu-individu yang mungkin tidak dapat diperbaiki lagi, dan dengan adanya hukuman mati maka hilanglah kewajjiban negara untuk memelihara mereka dalam penjara, selain itu untuk memelihara ketertiban hukum, dan berbagai alasan lain yang sangat banyak untuk dikemukakan. Termasuk di dalamnya adalah apabila merasa bahwa masih terdapat banyak rongrongan dan ancaman terhadap negara sehingga keselamatan negara terancam, maka hukuman mati masih layak dijatuhkan kepada pelaku.
Beberapa literatur mengatakan bahwa pelaksanaan hukum mati merupakan social defender, hukuman mati adalah suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman bahaya besar yang mungkin terjadi yang akan menimpa masyarakat, yang telah atau akan menyengsarakan dan mengganggu ketertiban masyarakat.
Konfigurasi pro kontra hukuman mati.
Masyarakat yang menginginkan hukuman mati dihapus mengemukakan alasan karena bertentangan dengan contract social karena hidup itu sesuatu yang tidak dapat dihilangkan secara legal dan membunuh adalah perbuatan tercela, kemudian hukuman mati tidak dapat diperbaiki jika hakim salah menerapkan hukum dan hukuman mati telah dilaksanakan. Selain itu pada saat sekarang hukuman mati sering dibenturkan dengan deklarasi Hak asasi manusia misalnya pasal 3 deklarasi universal hak asasi manusia mengatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupaan, kemerdekaan dan keamanan pribadi. Kemudian juga berdasarkan kovenan internasional tentang hak sipil dan politik pasal 6 mengatakan bahwa pada setiap manusia melekat hak untuk hidup. Hak ini harus dilindungi hukum.
Pro kontra ini terus berlanjut sampai sekarang, dunia internasional pun melalui kovenan internasional tentang hak sipil dan politik dalam pasal 4 nya memberi eksepsional terhadap kejahatan tertentu dapat dijatuhi hukuman mati apabila negara dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan umum asal tidak bertentangan dengan kewajiban negara -negara pihak menurut hukum internasional dan tidak menyangkut diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan asal usul sosial.
Apabila dikelompokan negara yang pro dan kontra terhadap hukuman mati, maka didapat konfigurasi seperti ini yaitu Negara yang menganut menghilangkan hukuman mati untuk semua jenis kejahatan, Negara yang menetapkan hukuman mati hanya untuk kejahatan-kejahatan eksepsional, negara yang masih mempertahankan hukuman mati untuk kejahatan biasa seperti pembunuhan tetapi tidak melakukan eksekusi, negara yang masih menerapkan hukuman mati dan tercantum dalam undang-undang pidananya sekaligus juga masih melaksanakan eksekusinya.
Prosfek Pengaturan dalam RKUHP
Dalam RKUHP tentang stelsel pemidanaan menganut ide keseimbangan kepentingan antara lain mencakup keseimbangan mono dualistic antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individu/perorangan, keseimbangan perlindungan antara kepentingana pelaku dan korban, keseimbangan antara kepentingan hukum, elastisitas dan keadilan serta keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai internasional/global. Bertolak dari ini maka tujuan pemidanaan diarahkan pada dua sasaran pokok yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan pelaku.
Dengan demikian RKUHP masih tetap mempertahankan jenis-jenis hukuman berat yaitu hukuman mati dan penjara seumur hidup. Namun dalam kebijakan formulasinya masih mempertimbangkan perlindungan kepentingan individu dengan diadakannya ketentuan mengenai penundaan pelaksanaan hukuman mati atau hukuman mati bersyarat dalam masa percobaan 10 tahun, dan dapat diubahnya hukuman penjara seumur hidup menjadi penjara 15 tahun apabila terpidana telah menjalani hukuman minimal 10 tahun dengan berkelakuan baik.
Menilik ketentuan RKUHP, maka ada harapan bagi terdakwa herry heryawan sekiranya dalam masa menunggu fiat eksekusi hukuman mati, RKUHP menjadi KUHP pelaksanaan hukuman mati tidak dilaksanakan karena ketentuannya sudah berubah, atau telah terjadinya perubahan perundang-undangan maka yanag dipakai adalah yang menguntungkan terdakwa.***