(Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Senin/21 Februari 2022)
Hari ini tanggal 21 Februari 2022 diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN), yang merupakan peringatan berkaitan dengan musibah longsornya TPA Leuwigajah yang berlokasi di Kota Cimahi Jawa Barat. Kejadian tersebut tidak saja menorehkan luka mendalam bagi kemanusiaan mengingat lebih dari 100 jiwa yang jadi korban karena tertimbun longsiran TPA, tapi juga menjadi pukulan berat bagi persampahan Indonesia karena selama ini ternyata telah memendam kesalahan fatal dalam pengelolaan sampah kota. Kesalahan tersebut adalah bahwa pengelolaan sampah hanya bertumpu pada pembuangan akhir di TPA. Musibah longsornya TPA Leuwigajah disebabkan karena timbulan sampah dari Bandung Raya yang makin meningkat, sementara itu daya tampung dan sistem pengelolaan TPA Leuwigajah yang makin terbatas. Keadaan tersebut berlangsung sekian lama bagaikan menyimpan bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan akhirnya terjadi musibah tahun 2005.
Mindset
Permasalahan utama dari persoalan sistem pengelolaan sampah yang berujung pada musibah longsornya TPA Leuwigajah adalah karena cara pandang yang keliru bahwa sampah hanya dipandang sebagai sisa dari kegiatan manusia yang dianggap tidak bernilai dan harus dibuang. Hal tersebut mungkin tidak serta merta disalahkan juga mengingat dilihat dari karakteristik fisik, kimia maupun biologi sampah tersebut memang bisa bermasalah bila dibiarkan begitu saja berada di lingkungan tempat tinggal kita. Tapi yang menjadi masalah berikutnya adalah sistem pembuangan sampah yang hanya mengandalkan TPA dan itupun tidak menggunakan prinsip-prinsip pengelolaan TPA baik itu sanitary landfill maupun control landfill. Ketika pengelolaan sampah hanya bersifat sentralistik di TPA maka timbulan sampah terakumulasi di tempat tersebut tanpa sistem pengelolaan yang benar maka akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak.
Cara pandang bahwa sampah hanya buang sudah dirubah, setidaknya sejak lahirnya undang-undang no 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, dimana pengelolaan sampah tidak hanya pada penanganan yang berujung di TPA (tempat pemrosesan akhir) tapi juga dengan pengurangan, yaitu mencegah (reduce), mengguna ulang (reuse) dan mendaur ulang (recycle), yang kemudian dikenal dengan istilah 3R. Mencegah (reduce) sebenarnya lebih pada merubah gaya hidup yang semula menyampah menjadi minim sampah (less waste). Dalam ajaran Islam budaya nyampah sering dikategorikan sebagai pemborosan dan kemubadziran, padahal mubadzir itu temannya syaithan. Sampah yang tidak bisa dihindari dihasilkan maka dilakukan penggunaan ulang dan pendaurulangan sedemikian sehingga terjadi siklus pemanfaatan sampah dalam kurun waktu selama mungkin.
Program 3R mulai digulirkan setidaknya setelah diberlakukannya UU 18 tahun 2008, meskipun sebenarnya secara konseptual program 3R ataupun 4R sudah sering dibahas sebelumnya dan bahkan sudah dikembangkan oleh kelompok masyarakat, akan tetapi tidak masuk dalam program resmi pemerintah. Para pelaku pengurangan sampah yang selama ini tidak tersentuh oleh program dan pemerintah adalah pemulung yang mengumpulkan jenis sampah tertentu yang dapat didaur ulang. Selain pemulung, kelompok masyarakat yang mengumpulkan jenis sampah layak daur ulang adalah bank sampah. Saat ini jumlah bank sampah yang ada di Jawa Barat menurut data Forum Bank Sampah Jawa Barat adalah sebanyak 1800 unit. Pertanyaannya sudahkah pengurangan sampah yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tersebut sudah efektif?
Untuk menjawab masalah tersebut perlu kiranya kita melihat ahwa komposisi sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga di Indonesia didominasi oleh sampah jenis organic yaitu sekitar 50%, sampah anorganik layak daur ulang sekitar 24% dan sisanya adalah sampah residu dan B3. Sampah organik memiliki karakteristik dan sifat mudah bau dan mudah terurai oleh karena itu metode pengolahan yang umum digunakan adalah pengomposan baik dengan metode aerobik maupun bioconversion. Untuk sampah anorganik layak daur ulang dikumpulkan oleh pemulung maupun bank sampah untuk bahan baku industri daur ulang, sedangkan sampah residu dan B3 diangkut ke TPA. Sampah layak daur ulang ternyata belum terambil semua sejak dari sumber sampah, terbukti masih banyak pemulung yang mengambil jenis sampah tersebut di TPA dan bahkan banyak yang terbawa hanyut ke sungai hingga ke laut. Pun demikian sampah jenis organik juga masih dominan dibawa ke TPA karena tidak adanya pengolahan sampah organic dengan kapasitas yang cukup besar. Hal tersebut juga diperparah dengan kenyataan bahwa sampah masih tercampur sehingga sulit mesmisahkan sampah baik di TPS maupun di TPA. Alhasil program 3R nampaknya masih belum membuahkan hasil bahkan sampah yang masuk ke TPA Sarimukti dari Bandung Raya makin meningkat.
Sistematis
Ketidakberhasilan program 3R dalam melakukan pengurangan sampah disebabkan karena program gtersebut tidak dilakukan secara sistemik. Langkah utama dalam melakukan program pengurangan sampah sesuai target Perpres No. 97 tahun 2017 yaitu pengurangan sampah minimal 30% pada tahun 2025 dimulai dari membangun sistem pengelolaan sampah kota yang dituangkan dalam masterplan pengelolaan sampah kota dan kabupaten. Membangun sistem tidak hanya dalam konteks blueprint, tapi juga realisasi penyediaan infrastruktur. Dengan demikian tidak lagi ditemukan keluhan masyarakat yang telah memilah sampah tapi oleh petugas dicampurkan lagi pada saat dikumpulkan oleh gerobak.
Perubahan sistemik tentunya tidak hanya pada konteks teknis tapi juga social, karena walaubagaimanapun sampah dihasilkan dari masyarakat yang juga perlu berperan aktif di dalamnya. Persoalan yang paling mendasar terkait dengan partisipasi masyarakat tidak cukup hanya memberikan penyuluhan sesaat tapi mungkin perlu dibangun sejak usia dini yang terintegrasi dengan sistem Pendidikan. Kedisiplinan masyarakat yang cukup baik di Jepang misalnya dalam hal pengelolaan sampah disebabkan karena kultur dan sistem pendidikan yang dibangun yang mengutamakan penanaman rasa tanggung jawab pada masyarakat. Dengan demikian wajar apabila prinsip di masyarakat jepang bahwa “sampahku tanggungjawabku” sedangkan di Indonesia “sampahku tanggungjawabmu”. ()