Pascasarjana Unisba Luluskan 2 Orang Doktor Ilmu Hukum

KOMINPRO-Pascasarjana Unisba kembali menyelenggarakan Sidang Terbuka Promosi Doktor Ilmu Hukum secara hybrid dengan perpaduan tatap muka di Aula Pascasarjana Unisba dan online melalui Zoom Meeting, Kamis (07/10).

Sidang Terbuka ini diketuai Rektor Unisba, Prof. Dr. H. Edi Setiadi, S.H., M.H., dan menghadirkan 2 orang promovendus yakni Lamhot Asnir Lumbantobing dan Wahju Daeny.

Adapun desertasi yang disidangkan dr.  Lamhot berjudul ‘Formulasi Informed Consent Bedah Saraf yang Sah dan Berkekuatan Hukum dalam Upaya Peningkatan Pelayanan Medis’. Dari sidang tersebut, dokter spesialis bedah saraf ini dinyatakan lulus serta memperoleh Gelar Doktor Ilmu Hukum dengan IPK 3,71 dan predikat sangat memuaskan.

Dia menuturkan, informed consent yang merupakan sebuah kewajiban sebelum dokter melaksanakan suatu tindakan kedokteran dalam hal ini persetujuan tindakan medik dari pasien kepada dokter, terdapat salah satu fungsi hukum yakni sebagai alat bukti jika ada sengketa antara pasien dengan pemberi layanan kedokteran.

“Untuk mendukung informed consent sebagai bukti dalam sengketa, maka diperlukan keabsahan pembuatannya,” ungkapnya.

Dijelaskannya, merujuk pada Undang Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pasal 39, informed consent merupakan kesepakatan dua arah dimana dokter yang memberikan opsi pengobatan dan saran pilihan serta pasien  menyepakati setelah mendapat penjelasan.

“Untuk itu sebagai sebuah persetujuan, maka perikatan ini tunduk pada  KUH Perdata  tentang perikatan. Dengan adanya hubungan perikatan antar kedua belah pihak ini (subjek hukum) maka kedua pihak memiliki hak dan kewajiban. Namun, Informed consent yang ada saat ini tidak menunjukkan adanya hak dan kewajiban kedua pihak,” katanya.

Dia menuturkan, bedah saraf merupakan bidang layanan kedokteran yang memiliki resiko tinggi, sehingga  diperlukan  informed consent yang lengkap, jelas dan  menunjukkan pelaksanaan hakikat “The right to information, patien’s autonomy dan the right to self determination”. “Informed consent yang lengkap juga perlu di dukung oleh peraturan perundangan  untuk itu,” tuturnya.

Oleh sebab itu Dosen Tetap Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara ini mengatakan,  perlu dibuat suatu formulasi informed consent bedah saraf yang di dalamnya memuat hak dan kewajiban dokter maupun pasien, informasi yang lengkap, serta keterbatasan yang ada.

Informed consent tersebut lanjutnya, harus mudah dipahami pasien, menggambarkan tindakan, alternatif, resiko,  serta besarnya resiko serta faktor-faktor yang mempengaruhi resiko tersebut. Kelengkapan dan pemahaman  informasi  serta kesempatan untuk berdiskusi dan mendapatkan informasi pembanding  (second opinion) dinyatakan oleh pasien.   

Sedangkan desertasi yang disidangkan Pa Wahju berjudul ‘Perlindungan Hukum Bagi Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dari Campur Tangan Atas Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsinya Guna Mewujudkan Kepastian Hukum dan Keadilan Menuju Independensi Penyidik’. Dari sidang ini, Dosen Tetap Yayasan Pendidikan Tribhakti Langlangbuana (UNLA) ini dinyatakan lulus dan mendapatkan Gelar Doktor Ilmu Hukum dengan IPK 3,95 dan berpredikat pujian.

Dalam pemaparannya ia mengatakan, perlindungan hukum bagi penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sangat penting dan diperlukan, baik di masa kini maupun di masa yang akan datang.

Namun menurutnya, saat ini berdasarkan analisis dan data yang diperoleh bahwa perlindungan hukum bagi penyidik Polri masih jauh dari yang diharapkan. Demikian pula dalam hal independensi penyidik, karena secara normatif atau yuridis formal belum diatur secara khusus, tegas dan komprehensif dalam suatu undang-undang tersendiri.

Oleh karena itu kata pensiunan anggota Polri ini, perlu dibentuk undang-undang khusus, yang tegas dan komprehensif, yang didalamnya mengatur adanya suatu Lembaga Perlindungan, Komisi Pengawas atau Dewan Pengawas yang independen, atau memperkuat/mengefektifkan Kompolnas, selain melakukan pengawasan, juga diberi kewenangan untuk secara bersama-sama dengan Komisi Kode Etik Polri (KKEP) untuk dapat menyelenggarakan persidangan kode etik profesi dan pelanggaran disiplin sekaligus menjatuhkan sanksi administratif kepada anggota dan/atau pejabat Polri yang melakukan campur tangan kepada penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Dengan demikian penyidik benar-benar dapat terlindungi dan independen dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Termasuk ketentuan tentang sanksi hukum yang tegas dan seimbang, baik sanksi pidana, perdata dan administrasi bagi setiap orang yang melakukan campur tangan terhadap penyidik yang sedang melaksanakan tugas pokok dan fungsinya,” terangnya.

Selain itu ia menuturkan, model perlindungan hukum bagi penyidik Polri adalah model perlindungan hukum simultan ( berisi perdata,  pidana dan administratif), yaitu suatu model perlindungan hukum bagi penyidik Polri, baik di bidang hukum publik maupun di bidang hukum perdata.

Menurutnya, model ini yang berisikan 2 (dua) macam perlindungan hukum, yaitu perlindungan hukum yang bersifat preventif dan perlindungan hukum yang bersifat represif, yang dilandasi oleh undang-undang khusus, yang tegas dan komprehensif guna menuju penyidik Polri yang independen.***

Press ESC to close