(Terbit di Harian Pikiran Rakyat, Rabu/31 Januari 2024)
Apakah ulama boleh memihak, boleh berkampanye, boleh mengarahkan ummat untuk mendukung paslon capres/cawapres tertentu? Akar dari soal ini bisa dirujuk dari pola hubungan agama dengan negara, dengannya bisa difahami bagaimana relasi antara ulama dengan politik, dan akhirnya soal dukung-mendukung capres.
Terdapat sejumlah model negara berdasarkan hubungan antara agama dan negara. Pertama, negara sekularis, agama secara tegas dipisahkan dari seluruh tatanan yang dikelola oleh negara, tidak ada pintu dan ruang bagi agama untuk memasuki dan mengisinya. Agamawan berkiprah di ruang privat dan komunitas terbatas. Kedua, negara teokratis, agama secara legal-formal-struktural menjadi faktor dominan atas posisi dan fungsi semua instrumen dan mekanisme kenegaraan dan pemerintahan. Demikian juga agamawan.
Ketiga, negara pluralis, dimana keragaman agama diberi ruang secara inklusif dan diperlakukan sebagai pranata dan institusi yang menjadi bagian dari tanggungjawab negara. Negara membuat pengaturan yang diperlukan untuk menjamin eksistensi dan aktualisasi ajaran-ajarannya. Agamawan memainkan peran bukan hanya terhadap umatnya, melainkan menjadi agen utama dalam dialog, kerjasama dan toleransi lintas keumatan.
Keempat, negara dengan identitas keagamaan tertentu, yang walaupun bukan teokratis namun identitas tersebut relatif menonjol dan memiliki pengaruh secara sosial, kultural dan governmental. Dalam hal ini agama dan agamawan mempunyai kedudukan dan peran penting, serta ikut mempengaruhi kebijakan pemerintahan. Kelima, negara ateis, dimana agama tidak dipertimbangkan sama sekali dalam kultur, apatah lagi struktur, pemerintahan dan kenegaraan. Walaupun demikian, mungkin saja agama dan agamawan masih mempunyai ruang eksistensi yang sangat terbatas. Dalam kerangka teoretik ini, dimana kira-kira kategorisasi Indonesia?
Ulama & Political Citizenship
Sebagai warga negara ulama memiliki hak politik: berhak memilih dan dipilih dalam proses pemilihan umum, hak menyampaikan pandangan dan sikap tentang isu-isu politik atau sosial, sesuai dengan prinsip kebebasan berbicara yang dijamin dalam sistem demokratis, hak terlibat organisasi politik atau mendirikan partai politik untuk mengambil peran langsung dalam kekuasaan.
Juga, ulama mempunyai tanggung jawab politik: mematuhi peraturan perundang-undangan perpolitikan, memberikan pendidikan politik kepada ummat sesuai nilai-nilai keagamaan, mendorong partisipasi politik rakyat, menjunjung nilai-nilai keadilan politik, memberikan pandangan moral dan etika kepada pembuat kebijakan, menjaga implementasi nilai-nilai keagamaan dalam konteks politik, mencegah penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik yang tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan kebenaran.
Dilihat dari keterlibatan ulama (agamawan muslim) dengan politik (dalam arti pengelolaan seluruh aspek hajat kehidupan rakyat), setidaknya dapat dibuat klasifikasi demikian, pertama ulama yang netral. Dalam hal ini ulama memosisikan dirinya pada ranah keagamaan yang sifatnya ubudiyah (spiritual, ritual dan moral), tidak melibatkan diri dalam ranah urusan kekuasaan, pemerintahan dan kenegaraan. Ulama lebih memilih peran sebagai pendidik, pemandu dan rujukan umat dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai akidah, ibadah dan akhlak.
Kedua, ulama dengan semi partisipasi, melibatkan diri dalam wacana atau praktik politik dengan batasan tertentu. Misalnya memberikan petuah/petunjuk moral atau mendukung kebijakan yang sejalan dengan prinsip keagamaan. Ketiga, ulama politisi, berpartisipasi secara aktif dalam politik, memiliki pengaruh signifikan terhadap pembuatan kebijakan, aktif melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat, menjadi fungsionaris organisasi politik, bahkan menerjunkan diri dalam pemerintahan baik eksekutif ataupun legislatif.
Keempat, ulama beroposisi, menjadi oponen dan bersuara kritis terhadap pemerintah karena negara atau pemerintahan membuat atau menjalankan sistem, mekanisme, kebijakan yang dianggap keluar dari/melanggar nilai-nilai moral dan ajaran agama, atau membahayakan sendi kehidupan dan keberlangsungan negara dan rakyat. Dalam taraf tertentu oponensi mungkin mengejawantah menjadi gerakan kolektif-aktif. Kelima, ulama mediator/rekonsiliator, mengambil peran menengahi ketika terjadi friksi atau kekisruhan politik baik di grass root maupun di level elit, menginisiasi dialog antar pihak, menawarkan alternatif jalan keluar demi harmonisasi dan kemaslahatan lebih besar.
Patut disesalkan, jika atas dasar kepentingan tertentu, ada pihak (bisa rakyat atau negara) yang menodai political citizenship ulama, sehingga muncul tindakan inkonstitusional terhadap ulama yang «berpolitik». Sejumlah perlakuan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak konstitusional/hak asasi misalnya: membatalkan, membubarkan, atau membatasi kebebasan berbicara ulama ketika menyuarakan pandangan politik atau kritik terhadap pemerintah; menghambat atau membuat larangan yang tidak adil terhadap ulama yang ingin berpartisipasi dalam proses politik, menggunakan dasar hukum agama untuk menargetkan ulama agar tidak terlibat dalam aktivitas politik; melakukan pengintaian, memata-matai, intimidasi atau pengawasan yang tidak sah oleh aparat keamanan demi menghalangi mereka berpolitik; penekanan dalam bentuk membatasi atau menghentikan hak-hak sipil ulama yang terlibat dalam aktivitas politik; tanpa alasan yang benar dan jelas atau rujukan hukum yang wajar melakukan pembubaran atau melarang organisasi keagamaan yang terlibat dalam kegiatan politik; menggunakan sistem hukum secara politis untuk menargetkan ulama melalui penuntutan hukum yang tidak adil.
Prinsip mendasar yang (semoga) menjadi rujukan ketika ulama berpolitik/tidak, mendukung/tidak paslon capres/cawapres tertentu, yaitu (1) dakwah ilal khair, agar kekuasaan memuliakan nilai-nilai etis/kebajikan, (2) amru bi al-ma’ruf, agar kekuasaan digunakan untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran & keadilan, (3) nahyu ‘an al-munkar, agar kekuasaan digunakan untuk menghilangkan penyimpangan, kejahatan, keburukan. Dengan prinsip ini ulama turut menentukan nasib rakyat dan negara (ADS)***