KOMINPRO-Pascasarjana Unisba Kembali meluluskan Doktor Ilmu Hukum melalui Sidang Terbuka Promosi Doktor Ilmu Hukum yang dilaksanakan dengan perpaduan luring di Aula Pascasarjana Unisba dan daring melalui Zoom Meeting, Rabu-Kamis (27-28/01). Sidang terbuka yang diketuai Rektor Unisba, Prof. Dr. H. Edi Srtiadi, S.H., M.H. ini menghadirkan 3 orang promovendus terdiri dari Akbar Sanjaya, R.M Yusuf Trisna Jaya dan Arinto Nurcahyono.
Adapun disertasi yang disidangkan Akbar Sanjaya berjudul “Penegakan Hukum Pidana Pada Penyalahgunaan Narkotika dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika Dihubungkan dengan Tujuan Pemidanaan”. Dari sidang tersebut, Akbar memperoleh IPK 3,47 dengan predikat Memuaskan.
Dalam pemaparannya Akbar mengatakan, lembaga pemasyarakatan di Jawa Barat belum mampu menyelesaikan masalah utama dari pembinaan pecandu narkotika, yaitu menghilangkan kecanduan narkotika. Hal ini menurutnya karena situasi overkapasitas, prisonisasi, pemberian stigma pada narapidana, dan kurangnya sumber daya manusia (SDM) terampil dalam membina pecandu narkotika di lembaga pemasyarakatan. “Maka sanksi pidana penjara tidak tepat diberlakukan pada pecandu narkotika,” ungkapnya.
Akbar menuturkan, proses rehabilitasi pecandu narkotika tidak maksimal. Kendala biayanya tidak murah, proses asesmen yang penuh subjektifitas, serta masih abu-abunya pengkategorian pelaku sebagai pecandu narkotika menjadi faktor penyebabnya. “Meskipun begitu, sanksi rehabilitasi merupakan pilihan terbaik untuk membina pecandu narkotika, karena martabat dari si pecandu menjadi terlindungi,” jelasnya.
Sedangkan desertasi yang disidangkan R.M Yusuf Trisna Jaya berjudul “Konsep Eksekusi Tindak Pidana Korupsi dengan Mengedepankan Upaya Pengembalian Kerugian Keuangan Negara (Asset Recovery)”. Dari sidang tersebut, Yusuf IPK memperoleh IPK 3,62 dengan predikat Sangat Memuaskan.
Hasil penelitiannya menunjukan, konsep eksekusi yang tepat terhadap tindak pidana korupsi dengan mengedepankan upaya pengembalian kerugian keuangan negara (Asset Recovery) adalah melalui Konsep Eksekusi penyitaan Paksa. Melalui konsep ini, kata Yusuf, pada tahap penyidikan, penyidik melakukan penyitaan terhadap harta benda tersangka baik yang bergerak maupun tidak bergerak dan yang terkait maupun tidak terkait dengan tindak pidana korupsi yang disangkakan kepada pelaku sejak ditetapkan sebagai tersangka serta sebagai jaminan atas kerugian keuangan negara yang ditimbulkan atas perbuatan tersangka.
Disamping itu kata Yusuf, konsep eksekusi rampasan dengan melakukan perampasan terhadap barang/harta terpidana sebanyak-banyaknya dengan harta yang dinikmati/diperoleh dari tindak pidana korupsi atau sama dengan jumlah kerugian keuangan negara yang ditimbulkan.
Yusuf menjelaskan, faktor kendala dalam proses pelaksanaan eksekusi uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi adalah pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) yang memberikan celah/ruang bagi terpidana korupsi untuk memilih menjalani pidana pengganti penjara daripada membayar uang pengganti yang dibebankan kepada terpidana.
Namun menurutnya, penjatuhan hukuman yang cenderung lebih ringan terhadap subsideritas uang pengganti tidak sebanding dengan Kerugian Negara yang ditimbulkan oleh pelaku. “Hal ini disebabkan karena belum adanya Pedoman Pemidanaan Uang Pengganti oleh Mahkamah Agung yang menyebabkan terjadinya disparitas pemidanaan,” ungkapnya.
Kepala Sub Seksi Penegakkan Hukum Pada Seksi Perdata Asisten Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Tinggi Riau ini menerangkan, benda/objek penyitaan yang diatur terbatas, menyulitkan penyidik melakukan penyitaan pada tahap penyidikan.
Orientasi penyidik, kata Yusuf, lebih terfokus pada pembuktian perkara dan menemukan tersangka dengan jangka waktu penahanan yang terbatas sehingga penelusuran aset dilakukan secara tergesa-gesa. Selain itu, belum adanya aturan setingkat undang-undang mengenai undang-undang Pengembalian Aset di Indonesia yang mengatur hukum formil dan materil proses pengembalian aset baik di dalam maupun di luar Negeri.
Sementara itu, desertasi yang disidangkan Arinto Nurcahyono berjudul “Pergeseran Paradigma Air dari Barang Sosial Menuju Barang Ekonomi dalam Pemenuhan Hak Atas Air yang Berbasis Kepastian Hukum dan Keadilan”. Dari sidang terbuka tersebut, Arinto memperoleh IPK 3,96 dengan predikat Cum Laude.
Dosen Fakultas Hukum Unisba ini mengatakan, pergeseran paradigma terhadap air dari barang sosial menuju barang ekonomi berangkat dari alasan tentang adanya kelangkaan air (water scarcity).
Privatisasi dan kooptasi air dari sumber kehidupan kolektif menjadi komersialistik, kata Arinto, tidak koheren dengan elemen konstitutif yang mengatur tentang “keberlanjutan hidup kolektif” dan “sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Arinto menerangkan, landasan filosofis kepastian dan keadilan memberikan penegasan hak atas air dalam suatu konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya adalah dalam kerangka untuk memberikan keadilan bagi seluruh rakyat. “Dalam hal ini adalah bentuk pembatasan terhadap manusia itu sendiri dalam memanfaatkan air hanya untuk kepentingan pribadi dan atau kepentingan kelompok tertentu,” paparnya.
Arinto juga menjelaskan, kerangka hukum pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) diperlukan pelibatan masyarakat khususnya masyarakat adat yang memiliki sejarah panjang pengelolaan air yang berbasis lingkungan. Selain itu, negara juga memiliki peran dalam melasanakan kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan mengakui hak asasi orang lain atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.***