Hadapi New Normal, Tenaga Pengajar Dituntut Kreativ dan Inovatif

KOMINPRO – Pandemi COVID-19 yang kini berlangsung, mengancam menurunnya kualitas pendidikan di Indonesia. Anjuran pemerintah yang mengharuskan institusi pendidikan melakukan proses pembelajaran dari rumah, mengakibatkan sebagian besar tenaga pengajar kesulitan untuk memberikan pelayanan terbaik bagi peserta didiknya. Hal tersebut terjadi karena model pembelajaran daring dinilai tidak bisa memfasilitasi seluruh kebutuhan siswa/mahasiswa terutama dalam aspek pertumbuhan karakter. Padahal sejatinya tujuan pendidikan adalah tumbuhnya akhlak yang baik.

Berangkat dari keresahan tersebut, Pengurus Pusat Wanita Islam (PPWI) bekerja sama dengan Universitas Islam Bandung (Unisba) menggelar Webinar Nasional bertajuk Pendidikan di Era New Normal, Sabtu (4/6). Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, SE., MPP. Ph.D., didaulat menjadi keynote speaker pada acara tersebut. Beliau mengatakan, untuk menumbuhkan karakter pada siswa atau mahasiswa, institusi pendidikan perlu melibatkan peserta didik dalam proses interaksi.

“Pendidikan adalah proses interaksi antar orang, yang menimbulkan kegiatan saling belajar diantara mereka yang terlibat. Proses ini sudah terjadi terjadi sejak awal ada manusia. Baik pendidik,  maupun terdidik semua mengalami proses pembelajaran,”jelasnya.
Pak Anies menerangkan, pendidikan akan berhasil jika ada kesinambungan antara tiga ranah pendidikan. Pertama di rumah (informal), pendidikan kedua ada di sekolah (pendidikan formal), ketiga ada di antara keduanya  (nonformal). Ketiga aspek ini harus bersinergi. Menurutnya, jika setiap rumah tangga dan sekolah merumuskan 10 sampai 15 kebiasaan yang ingin dimiliki setiap peserta didik, kemudian menggunakan teknologi sebagai alat pemantau dan perangsang terjadinya kebiasaan maka hal tersebut bisa dilakukan.

”Karakter itu tumbuh karena proses. Pertama, diajarkan. Lalu, dibiasakan. Kemudian, bila ada yang tidak menjalankan didispilinkan. Melalui tahapan itu kebiasaan akan menjadi budaya. Misalnya orang yang selalu melaksanakan shalat tepat waktu itu semua karena sudah jadi budaya. Ketika jadi budaya itulah karakter. Jadi proses pertumbuhannya adalah melalui pembiasaan,”jelasnya.

Pak Anies mengatakan untuk menumbuhkan karakter, seorang tenaga pengajar harus bisa menciptakan ekosistem yang baik bagi peserta didiknya. Beliau menganalogikan bahwa siswa itu seperti bibit unggul yang akan tumbuh jika ditanam pada tanah yang subur. Bukan hanya itu, cuaca yang bersahabat juga akan membuat proses pertumbuhan mereka lebih cepat. Sehingga kunci yang paling penting dalam era new normal ini adalah pendidik yang mau belajar, berubah, dan menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk bisa mendidik dengan cara baru.

”Di sini tantangannya, banyak pendidik punya keengganan untuk berubah cepat ketika menghadapi teknologi dan cara-cara baru. Perlu kesadaran para pimpinan lembaga pendidikan untuk bisa menjelaskan secara baik kepada guru atau dosen tentang perlunya mengubah cara belajar. Karena jika para pengajar tidak mengubah cara belajarnya siswa/mahasiswa kecenderungannya akan diberikan banyak tugas karena mereka belum paham dengan materi yang akan diberikan,”terangnya.

Lebih lanjut Pak Anies menjelaskan bahwa hampir semua guru berpendapat bahwa keberadaan mereka tidak dapat digantikan oleh teknologi. Namun, di masa pandemik ini terungkap sebuah fakta menarik bahwa rupanya guru yang bekerja secara mekanistik dan tidak menawarkan hal-hal baru bisa saja digantikan dengan power point dan tayangan video. Beliau berharap, hal ini bisa menjadi refleksi bagi para pendidik untuk bisa mengasah kreativitas yang dimiliki dan memberikan inovasi dalam melakukan pembelajaran.

”Refleksi bagi kita bahwa teknologi bisa menggantikan hal-hal yang mekanistik dan ada algoritmanya. Tapi hal-hal yang bersifat kreativ dan seni, hanya akan menjadikan teknologi sebagai fasilitas penunjang tidak menggantikannya. Interaksi adalah kunci dan teknologi jadi supportingnya seperti halnya kegiatan webinar ini,” ujarnya.

Sementara itu, Rektor Unisba, Prof. Dr. H. Edi Setiadi, S.H. M.H, mengatakan, meskipun Unsiba sudah menerapkan sistem pembelajaran branded learning, ada beberapa kegiatan yang tidak bisa digantikan melalui metode perkuliahan online seperti kegiatan praktek di laboratorium. Beliau menjelaskan, untuk mempertahankan mutu mahasiswa, seluruh kegiatan pratikum telah diundur pada jangka waktu yang belum ditentukan.

”Untuk fakultas sains, kami harus berfikir ulang karena banyak kegiatan praktek. Misalnya Fakultas Kedokteran tidak mungkin membedah mayat secara virtual atau praktek persalinan melelalui virtual. Sebagai muslim kita harus memikirkan masalah keselamatan jadi mau tidak mau pratikum tidak bisa dilakukan dulu. Menjaga jiwa itu kan salah satu inti dari tujuan hukum kita,” ujarnya.

Selain melaksanakan perkuliahan secara online, Unisba juga melakukan berbagai langkah preventif seperti melaksanakan proses ujian penerimaan mahasiswa baru secara online,  pelaksanaan UTS, UAS, dan sidang online. Unisba juga memberlakukan sistem piket bagi dosen dan karyawan sehingga setiap hari hanya 30% orang yang  dapat bekerja di kantor.

”Walaupun pandemik COVID-19 mengubah kondisi saat ini, Insya Allah jika kita kuat dan berpegang pada tali Allah akan membuahkan hasil  yang memuaskan. Sebagai umat muslim, kita harus mampu menjadi Khaira Ummah (Umat terbaik). Dalam konsep Unisba, umat terbaik dapat diterjemahkan sebagai pribadi yang memiliki kompetensi tinggi dan berakhlakul kharimah,” ucapnya.

Dalam diskusi itu, PPWI juga menghadirkan narasumber lain yakni Guru Besar Emiritus Universitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Prof. Dr. Hj. Aliyah Rasyid Baswedan, serta Kepala PPPPTK Seni dan Budaya Kemendikbud, DR. Sarjilah, M.Pd. Keduanya berbicara tentang Pendidikan Jarak Jauh di Era New Normal. (Feari/Wiwit)

Press ESC to close