Din Syamsuddin : Radikalisme “Positif” Jika Berpegang Teguh pada Dasar Agama

KOMINPRO-Pada dasarnya, radikalisme yang  berasal dari kata radic berarti akar, berkonotasi positif. Radikalisme itu harus ada pada agama yang dianut karena menjadi sesuatu yang diyakini secara mendasar oleh manusia yang menjadi believer. Selain itu,radukalisme harus diterapkan pada keyakinan terhadap agama dan berpegang teguh pada dasar agama, serta beragama secara akariah yang disebut usluhuddin (pokok agama). Demikian disampaikan Prof. Dr. K.H. Din Syamsuddin, M.A.  pada kegiatan Diskusi Radikalisme Agama dalam Sorotan Menuju Umatan Wasathan yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Islam dan Pengembangan Kepribadian (LSIPK) Unisba di Student Center (SC) Unisba, pada Senin (16/12).

Namun, menurutnya, rezim politik didunia saat ini banyak mempergunakan kata radikal tersebut sebagai politisasi makna dan istilah untuk kepentingan kekuasaan sehingga memunculkan makna negatif.Arus politik yang didorong ke awam, ketikdakmengertian oleh penguasa yang menimbulkan kerancuan, berbahaya lagi konsep dan istilah itu dipakai secara generalisasi yang menjebak. Celakanya lagi, itu dilakukan oleh dewasa yang tidak paham menggunakan analisa kacamata kuda sehingga menimbulkan kerancuan nalar dan tidak berkeadilan yang bermotif politik. Ini bahaya bagi kehidupan,” jelasnya.

Dia menyebutkan jika motif politik tersebut berkaitan dengan radikalisme keagamaan. “Radikaliesme keagamaan yang menyalahkan orang lain dengan berbagai perilaku kriminalisasi sebenarnya anti agama. Hal tersebut sangat bertentangan dengan nilai agama terutama Islam yang mengedepankan wasathan,” ujarnya.

Untuk itu, perlunya Wasatiyyah Islamiyah dengan menerapkan beragama yang wajar, proposional, tidak melebih-lebihkan, tidak mengurang-ngurangi, tidak extreme dan tidak memudahkan. Selain itu,  masalah yang dihadapi harus diselesaikan dengan tidak menggunakan kekerasan dan tidak  menggunakan pendekatan ekstrim. “Radikal itu sendiri tidak akan menyelesaikan masalah tapi kembangkan dialog dan Wasatiah Islamiah, ini merupakan cara yang bermartabat untuk manusia modern,” terangnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh  Prof. Dr. K.H. Dadang Kahmad, M.Si. Dia mengatakan, saat ini makna radikalisme sudah terpolitisasi segelintir orang sebagai labeling dan branding untuk menyudutkan kelompok tertentu atau membuat stigma buruk kepada kelompok yang tidak disuka.

Penanggulangan yang perlu diterapkan dalam menghadapi radikalisme agama, menurutnya, dengan  mengajarkan kasih sayang kepada manusia dengan meyakini diri benar dan penuh kasih saying tanpa ada rasa benci dan saling menyalahkan.

Jika dilihat dari aspek hukum, Rektor Unisba, Prof. Dr. H. Edi Setiadi, S.H., M.H., menyebutkan , ujung radikalisme itu bisa makar atau terorisme yang saat ini sering terjadi.

Dikatakan Rektor, pendekatan non hukum  harus dikedepankan pemerintah dalam menanggulangi radikalisme ini. “Jangan membuat stigma yang membingungkan masyarakat karena bisa menimbulkan konflik sosial,” jelas Rektor.

Selain itu, jika pendekatan hukum negara melakukan represif terhadap kasus radikalisme, maka harus jelas perbuatan apa yang disebut sebagai radikal. Jika dikaitkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maka harus dikembangkan kebijakan komprehensif yang meliputi semua aspek sosial, pembangunan maupun ideologi yang harus dikembangkan. (Eki)

Press ESC to close